Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Endro Berburu Gramofon dengan Menyusuri Jejak Belanda

Kompas.com - 21/09/2017, 07:00 WIB
Wijaya Kusuma

Penulis

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Pengunjung Pameran Pasar Yakopan berkerumun di sisi pojok kanan Gedung Bentara Budaya Yogyakarta. Mereka asyik mengamati sebuah kotak berukuran sedang yang di tengahnya terdapat sebuah piringan hitam.

Dari sisi belakang kotak tersebut menjulur sebuah corong berukuran besar. Ketertarikan pengunjung, selain bentuknya unik, juga karena alat yang bernama gramofon ini merupakan alat pemutar musik pertama yang ada di dunia.

Tak hanya satu, ada tiga gramofon koleksi milik Endro Nugroho yang dipamerkan dalam acara Pasar Yakopan yang ke-10 ini.

Warga Jalan Garuda, Gg Turonggo No 384 Rt 10/ Rw 41 Jaranan, Banguntapan, Bantul, ini mengaku sudah mulai mengoleksi gramofon dan piringan hitam sejak tahun 1998.

"Saya mulai bermain mengoleksi piringan hitam dan gramofon tahun 1998," ujar Endro Nugroho di Bentara Budaya Yogyakarta, Sabtu (17/9/2017).

Endro mengaku tertarik dengan gramofon karena ini merupakan alat pemutar musik pertama yang ada di dunia. Selain itu, lanjut dia, bentuk dari gramofon terbilang unik.

"Bentuknya gramofon itu artistik sekali dan mempunyai histori yang menarik, walaupun memang bawaan dari Belanda dan Denmark. Kalau piringan hitam, itu kan suaranya murni, kalau kualitas suara penyanyinya bagus ya akan bagus, begitu juga sebaliknya," tuturnya.

(Baca juga: Cerita Wiyono, Perajin Bambu Difabel yang Diremehkan tetapi Gigih Berinovasi)

Selain itu, dulu ketika bekerja di sebuah perusahaan eksportir, Endro mengaku melihat banyak gramofon dari Indonesia yang dikirimkan ke luar negeri.

"Eksportir-eksportir itu datang ke Indonesia lalu belanja ke pedalaman mencari barang antik termasuk gramofon lalu dikirim keluar. Walau barang itu dari saya, tetapi kalau sudah ada di Indonesia saya merasa eman kalau dibawa keluar," ungkapnya.

Demi mendapatkan gramofon, Endro harus pergi ke berbagai tempat di luar Kota Yogyakarta. Tempat-tempat yang dituju oleh Endro merupakan bekas lokasi yang dahulu ditempati oleh Belanda. Meskipun terbilang jauh dan membutuhkan biaya, namun rasa lelah itu akan hilang ketika dirinya bisa mendapatkan gramofon.

"Saya kalau hunting itu sampai di Wonosobo, Salatiga, Temanggung, Malang, pokoknya daerah-daerah yang dulu ditempati oleh Belanda. Saya mau tidak mau juga belajar sejarah, di mana saja lokasi yang dulu ditempati Belanda," tuturnya.

Di bekas lokasi yang ditempati oleh Belanda itu, pasti ada barang yang ditinggalkan atau diberikan kepada orang. Salah satu barang yang biasanya ada adalah alat pemutar musik gramofon.

"Di situ paling banyak ada yang ditinggalkan, entah mau keluar dari Indonesia lalu ditinggal ke Pak Lurah, atau penduduk yang dekat dengan mereka," tuturnya.

Meski berhasil menemukan gramofon, namun untuk bisa mendapatkannya tidaklah mudah. Menurut Endro, butuh kesabaran dan pendekatan yang intens agar pemiliknya mau melepas barang tersebut.

"Memang seninya itu untuk mendapatkannya, cara kita pendekatan, menawar sampai barang bisa ditangan. Banyak juga mereka yang tidak tahu cara menggunakanya, jadi hanya di simpan," ungkapnya.

Gramofon yang didapatkannya pun memiliki berbagai macam kondisi. Namun sebagian besar tetap bisa diperbaiki dan dioperasikan kembali sebab mesin gramofon terbilang sangat handal dan kuat.

"Ada yang kondisi mati dalam arti tidak bisa berputar, tetapi tidak rusak. Memang uniknya mesin dari gramofon ini kerusakan itu jarang sekali, teknologi jaman dulu memang luar biasa, kalau memperbaiki bisa, kami ada komunitasnya," tuturnya.

Eko mengaku, dahulu dirinya memiliki cukup banyak gramofon. Namun karena ada keperluan mendesak, beberapa sudah dijualnya. Saat ini, Endro masih menyimpan gramofon yang usianya cukup tua, yakni buatan tahun 1920.

"Saya sekarang hanya tinggal punya empat, jenis koper dan yang corongnya diluar. Yang saya punya tertua itu tahun 1920 buatan Jerman, itu yang corongnya di luar, harganya di atas Rp 10 juta kalau dijual," tuturnya.

Sampai saat ini, Endro mengaku masih mencari barang yang sering disebut musik boks. Barang ini buatan Jerman dan usianya lebih tua dari gramofon miliknya.

"Saya belum bisa mendapatkan yang namanya musik boks. Buatan Jerman, usianya lebih tua lagi dari gramofon milik saya. Itu dulu juga dibawa Belanda ke Indonesia dan jumlahnya tidak banyak," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com