Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gara-gara Hilang Sepatu, Rowland Sukses Menembus Pasar di Lima Benua

Kompas.com - 19/08/2017, 06:56 WIB
Reni Susanti

Penulis

 

KOMPAS.com - Berawal dari hilangnya sepatu Rowland Asfales berinovasi. Ia membuat sepatu pengganti yang kini menembus pasar lima benua.

Rowland termenung sejenak, sepatu miliknya hilang di kosannya di daerah Taman Sari, Kota Bandung, beberapa tahun lalu. Untuk mengganti sepatu yang hilang, ia lantas berjalan-jalan ke sentra sepatu Cibaduyut. Saat itu, ia berniat membeli sepatu kulit.

Namun, ia mengurungkan niat untuk membeli sepatu kulit karena mahal. Ia pun kembali ke kosan dengan tangan kosong. Tapi tidak dengan pikirannya. Otaknya terus berputar untuk menciptakan sepatu pengganti.

Lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB) ini akhirnya membuat sepatu. Tak disangka, sepatu buatannya diminati teman-temannya.

(Baca juga: Didi Jubaedi, Transmigran yang Sukses Bertani Lada)

Dari sana ia pun mulai berbisnis sepatu. Ia lalu memasarkan bisnisnya ke dunia online, namun hasilnya negatif. Karena sepatu yang ia jual di harga Rp 200.000-400.000 saat itu, kalah bersaing dengan harga sepatu yang jauh lebih murah.

“Saya bangkrut karena sepatu saya tidak memiliki nilai jual,” ujarnya kepada Kompas.com di sela-sela acara The Big Start Indonesia (TBS) di Bandung, Jumat (18/8/2017).

Ia kembali berinovasi. Mulai dari bahan, cara pembuatan, hingga desain. Ia lalu menemukan artikel yang menyebutkan, industri fesyen adalah salah satu penyumbang limbah terbesar di dunia, termasuk limbah pembuatan sepatu kulit.

“90 persen pembuatan sepatu kulit di dunia diproses melalui proses kimiawi dan menggunakan bahan yang berdampak sangat buruk bagi alam dan manusia,” ucapnya.

(Baca juga: Resep Mahasiswa Sukses Ala Menaker Hanif)

Dari pemikiran tersebut, lahirlah PijakBumi, sepatu ramah lingkungan yang fashionable. Sepatu ini menggunakan bahan kulit natural dan disamak dengan menggunakan ekstrak tumbuhan.

“Tumbuhannya bernama Kenaf. Tumbuhan ini mengeluarkan oksigen 8 kali lebih banyak dibanding pohon lainnya. Kenaf tumbuh di daerah tropis. Kami menenun kenaf dengan benang-benang,” tuturnya.

Ia pun tidak menggunakan bahan kimia dalam pembuatan sepatunya. Bahkan ia hanya menggunakan mesin jahit kaki agar proses pembuatannya lebih ramah lingkungan.

Karena itu pula, sepatu PijakBumi tidak banyak memperlihatkan jahitan. Sepatunya lebih mengandalkan proses cutting yang halus.

Kini, sepatunya sudah menembus lima benua. “Sepatu PijakBumi sudah menembus pasar Spanyol, Jerman, Swiss, Kanada, Nigeria, Australia, dan hampir semua negara Asia, terutama Indonesia,” ucapnya.

Pasar Indonesia, sambung Rowland, masih mendominasi di angka 90 persen. Namun ia optimistis keinginannya untuk masuk pasar luar negeri akan semakin besar dengan nilai jual produknya yang ramah lingkungan.

“Harga sepatunya berkisar dari Rp 300.000 hingga Rp 1,2 juta,” tuturnya.

Pemasaran Online
Sejak berdiri, PijakBumi memasarkan sepatunya dengan cara online. Tiap bulan, perusahaannya berkembang baik. Bahkan, sejak ia menjuarai The Big Start Indonesia (TBS) yang digelar blibli.com tahun lalu, penjualannya semakin meningkat.

“Pertumbuhannya 40 persen per bulan,” ucapnya.

Ke depan, ia berencana membuat video dokumenter tentang limbah sepatu kulit. Selain untuk mendorong bisnis sepatunya, video ini diharapkan memberikan edukasi kepada masyarakat.

Mengenai nama PijakBumi, Rowland mengatakan berasal dari sebuah riset. Dalam riset tersebut, ketika seseorang stres maka berjalanlah tanpa alas kaki untuk menetralkan diri.

Dengan filosofi tersebut, ia berharap para pengguna sepatu PijakBumi merasakan proses penetralan diri itu.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com