Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengontrol Tikus dengan Burung Hantu Ala Petani Dusun Cancangan

Kompas.com - 09/05/2017, 17:53 WIB
Wijaya Kusuma

Penulis

YOGYAKRTA,KOMPAS.com - Dusun Cancangan, Wukirsari, Cangkringan, Sleman yang berada di sisi selatan Gunung Merapi, dianugerahi tanah yang subur dan air yang melimpah. Tak heran, banyak warganya yang menjadi petani.

Mereka mengandalkan kebaikan alam untuk menghidupi keluarganya. Berbagai jenis tanaman seperti padi, tomat, cabai, hingga pembibitan mentimun, menghiasi kawasan itu.

"Mayoritas warga disini memang petani, terutama padi dan sayuran. Kalau lahan pertanianya tidak terlalu luas, hanya kurang lebih 12 hektar hingga 15 hektar," ujar Bavit Margo Utomo, Ketua Kelompok Tani Margomulyo Dusun Cancangan, Senin (8/5/2017).

Pada musim tanam pertama pasca erupsi Gunung Merapi 2010 lalu, hasil panen para petani melimpah.

"Luar biasa waktu itu. Kita tanam dengan bibit yang tidak layak saja karena terlalu tua saja hasilnya luar biasa saat itu," ucapnya.

Namun pada musim berikutnya, para petani di Dusun Cancangan gagal mendapatkan hasil panen yang maksimal. Tanaman yang tinggal dipanen justru sebagian besar habis diserang hama tikus.

"Panen berikutnya kami minim sekali, paling hanya 15 persen sampai 20 persen saja, lainya di serang tikus. Hama tikus memang dulu ada, tapi tidak separah pasca erupsi, semua tanaman yang di sawah diserang tidak hanya padi," sebut dia.

Untuk mengatasi hama tersebut, awalnya para petani menggunakan racun tikus dan emposan. Namun ternyata, dua metode tersebut tidak berhasil menekan kerusakan panen para petani. Justru ketika menggunakan racun, beberapa waktu kemudian tikus yang menyerang tanaman para petani semakin banyak.

"Wilayah kami memang berat, ada yang mengatakan mustahil menanggulangi hama tikus di sini. Pematang sawah di sini itu tersusun dari batu, dan menjadi tempat yang disukai tikus," ucapnya.

Melihat kondisi tersebut, para petani termasuk Bavit Margo Utomo, Ketua Kelompok Tani Margomulyo dusun Cancangan mencari solusi lain untuk mengatasi hama tikus. Hingga akhirnya ada informasi, bahwa burung hantu menjadi solusi untuk mengatasi hama tikus.

"Saya baca di beberapa berita itu, burung hantu untuk mengatasi tikus. Saya cari dan tahun 2013 dikenalkan dengan teman-teman dari Raptor Club Indonesia (RCI)," ucapnya.

Gayung bersambut, Raptor Club Indonesia (RCI) lantas memberikan pendampingan dan edukasi kepada kelompok tani terkait penangulangan hama tikus dengan cara yang alami yakni memanfaatkan burung hantu.

KOMPAS.com / Wijaya Kusuma Bavit Margo Utomo, Ketua Kelompok Tani Margomulyo dusun Cancangan, Wukirsari, Cangkringan, Sleman dan Wakil Ketua Raptor Club Indonesia (RCI), Lim Wen Sim saat memeriksa Gupon di area persawahan
RCI pun memberikan satu gupon (sarang) yang dipasang di area persawahan di Dusun Cancangan dengan sepasang burung hantu Serak Jawa atau nama latin Tyto alba itu. Namun salah satu burung hantu itu ada yang mati.

"Mati satu yang jantan, betinanya masih hidup. Dilakukan pengamatan tiap malam selama beberapa bulan, kita kasih makan tikus, sampai akhirnya didatangi pejantan lokal. Akhir tahun 2013 bertelur tiga," tuturnya.

Ia mengaku, awalnya tidak mudah melakukan sosialisasi dan pemahaman kepada para petani mengenai cara menanggulangi hama tikus dengan memanfaatkan burung hantu. Bahkan para petani sempat tidak percaya bahwa burung hantu mampu menjadi solusi atas keresahan mereka.

"Waktu musim tanam, Kita memasukan burung hantu dalam gupon itu awal langsung mendapat 'serangan', sudah diberi burung hantu kenyataanya masih dimakan tikus. Padahal waktu itu, burung hantunya masih dikarantina belum dilepaskan," urainya.

Hingga seiring berjalannya waktu, keberadaan burung hantu mampu mengontrol populasi tikus. Jumlah kerusakan akibat serangan tikus pun mulai turun hingga hasil panen kembali membaik.

"Hasil panen lebih bagus dan terbalik situasinya, sekarang yang diserang hanya 15 persen sampai 20 persen saja. Kalau hasil panen tahun 2015 itu rata-rata 8,5 ton per hektar," ujarnya.

Para petani yang telah melihat bukti lantas berinisiatif dengan dana swadaya membuat beberapa gupon tambahan. Hingga saat ini sudah terdapat belasan gupon dengan tinggi 5 meter yang terpasang di area persawahan.

"Sekarang sudah ada 16 gupon, yang aktif ada lima pasang burung hantu. Perkembanganbiakannya di sini secara alami, anaknya sekitar 17 ekor, masih ditambah beberapa yang bertelur," sebutnya.

Sementara itu Wakil Ketua Raptor Club Indonesia (RCI), Lim Wen Sim menyebutkan, daya jelajah burung hantu dan kemampuan membunuh tikus tergantung dari kondisi lapangan. Seperti apakah sawah tersebut bersih atau tidak. Selain itu, petani juga dilarang memakai racun tikus.

Ia mengatakan, di pusat Burung Hantu Ngawi, Jawa Timur, sepasang burung hantu di dalam kandang mampu membunuh hingga 100 ekor tikus. Namun saat di luar atau di area persawahan, kemampuan membunuh sepasang burung hantu bergantung pada berbagai faktor.

"Kalau memakan itu dua ekor tikus. Di Trowulan di luar itu membunuh 17 ekor dalam satu sesi, turun naik-turun naik dalam satu petak, jadi tergantung kondisi lapangannya," jelasnya.

Saat telur burung hantu menetas, sang induk akan membunuh lebih banyak dari biasanya untuk memberi makan anak-anaknya.

"Kalau menetas berarti kan induknya tidak hanya makan 1, tidak cuman diburu tetapi juga makan. Kita pernah mengamati dan menghitung yang dimakan jantan berapa betina berapa, lalu menyuapi 2 anaknya, dalam 2,5 bulan itu memakan, 1.080 ekor tikus, luar biasa," urainya.

Menurut dia,  jarak antara gupon satu dengan yang lain tidak boleh dekat. Jaraknya sekitar 100 meter hingga 200 meter. Selain itu di sekitar satu gupon harus terdapat setidaknya 5 hingga 10 tempat hinggap (tengeran).

"Di sawah itu sebenarnya sangat tidak ideal, karena kondisinya terbuka. Jadi harus diimbangi tengeran, untuk anaknya latihan terbang, kalau tidak ada dan jatuh kena air langsung mati," ucapnya.

Lim menyebutkan, pikiran membasmi dan menghabiskan tikus merupakan hal yang salah kaprah, karena menyalahi alam. Tikus tidak bisa dimusnahkan tetapi bisa dikontrol. Mengontrol populasi tikus dengan memanfaatkan burung hantu sebutnya, tidak bisa secara instan. Tetapi membutuhkan proses waktu, seiring dengan kembalinya ekosistem.

"Tidak bisa langsung, butuh proses terkadang orang inginya cepat dan tidak melihat prosesnya. Ya minimal 2 tahun," ucap dia.

Baca juga: Burung Hantu, Predator Alami Tikus di Perkebunan Sawit

Kompas TV Hilangkan Mitos Seram Burung Hanti
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com