Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Pande" Besi Terakhir di Kampung Pandean...

Kompas.com - 07/05/2017, 12:30 WIB
Slamet Priyatin

Penulis

KENDAL,KOMPAS.com - Mukhorobin (58) adalah generasi terakhir pandai besi yang ada di Kampung Pandean Kaliwungu Kendal Jawa Tengah.

Ia bertahan menjadi pande dikarenakan ingin mempertahankan warisan pekerjaan nenek moyang.

"Ini keahlian saya. Membuat atau memperbaiki arit, parang, atau pacul," kata Mukhorobin, Minggu (7/5/2017).

Sikap ini diambil meskipun uang yang didapat dari bekerja sebagai pande besi setiap harinya tidak cukup untuk makan keluarga, yaitu hanya Rp 15.000 hingga paling banyak Rp 50.000.

Sebelum tahun 2000 penghasilannya sebagai pandai besi per harinya bisa untuk makan seminggu.

Warga Kranggan, Desa Krajan Kulon Kaliwungu ini mengaku kalau pandai besi di Pandean tinggal dirinya. Padahal dulu, sebelum tahun 2000, hampir semua penduduk Pandean, bermata pencaharian sebagai pande.

"Ini mungkin dikarenakan pande besi di kampung ini sudah meninggal dunia, dan anaknya tidak ada yang mau meneruskan usaha orang tuanya," kata warga asli Pandean ini.

Menurut cerita bapak beranak dua tersebut, karena dulu banyak masyarakatnya yang jadi pande, maka kampung ini dinamakan Pandean. Pandean dari kata kepandean atau pandai.

Di depan rumah warga Kampung Pandean, hampir semuanya ada gubuk kecil berukuran 4x5 meter, untuk membuat peralatan kerja pertanian. Namun, seiring perkembangan zaman, peralatan pertanian traditional itu mulai ditinggalkan.

Petani lebih suka memakai mesin buatan pabrik, seperti traktor dan lainnya.

"Peralatan pertanian dari mesin, membuat petani sudah langka yang menggunakan pacul, arit, atau ani-ani. Disamping itu, sekarang ini sudah banyak sawah yang berubah menjadi perumahan,” ujar Mukhorobin.

Harga pacul buatan Mukhorobin seharga Rp 400 ribu. Kalau arit atau parang, sekitar Rp 100 ribu. Harga ini, lebih mahal kalau dibandingkan dengan harga pacul atau arit dan parang yang dijual di pasar atau pedagang keliling .

"Karena bahannya beda. Kalau bahan pacul, arit, atau parang buatan saya dari besi baja. Sementara yang dijual di pasar atau pedagang keliling, dari besi biasa. Sehingga mudah penyok atau rusak," ujar Mukhorobin.

(Baca juga: La Taando dan Ritual Khusus Sang Pandai Besi...)

Jadi kampung handphone

Menurut Mukhorobin, pandai besi di Kampung Pandean, Kaliwungu Kendal, sudah ada sejak masa penjajahan. Usai merdeka, pandai besi di Pandean semakin banyak.

Hal ini, dimungkinkan karena wilayah Kaliwungu dan sekitarnya adalah daerah pertanian. Namun, seiring perkembangan zaman, Kampung Pandean kini menjadi pusat jual-beli handphone.

Kampung seluas sekitar 1,5 kilometer tersebut telah menjadi pusat jual-beli HP sejak 2005.

"Sepanjang kampung ini, telah berdiri rumah toko penjual handphone. Masyarakatnya banyak yang pindah. Yang masih bertahan di sini, sudah bekerja di pabrik, perkantoran atau dagang,” kata Mukhorobin.

Suami Jumiatun (55) ini menjelaskan, dirinya lahir dari keluarga kurang mampu. Ayahnya bekerja sebagai seorang pande di rumah pandai besi milik warga bernama Mukri.

Sebab, orangtuanya tidak punya modal untuk membuat tempat pandai besi. Setelah selesai sekolah dasar, tambah Mukhorobin, dirinya kemudian ikut bekerja bersama ayahnya.

"Hingga akhirnya ayah saya dan Pak Mukri meninggal dunia. Anak-anaknya Pak Mukri tidak ada yang melanjutkan usaha ini. Lalu saya yang disuruh pegang, dengan perjanjian bagi hasil," tuturnya.

(Baca juga: Tanggomo, Tradisi Lisan Gorontalo yang Makin Sulit Ditemukan)

Alat sederhana

Tempat kerja Mukhorobin ini berukuran 4x5 meter. Sebagian besar dindingnya terbuat dari kayu. Sedang atapnya dari genteng.

Di dalam ruang kerja itu, ada tungku, ububan (yang terbuat dari paralon setinggi 1 meter dan berdiameter 10 cm, serta diberi alat untuk memompa), palu besar, dan arang.

Jarak tungku dan ububan sekitar 2 meter. Di bawahnya diberi paralon kecil, yang menghubungkan tungku dan ububan tersebut. Tungku berfungsi sebagai pemanggang besi dan ububan sebagai pompa angin .

"Sistem kerjanya, tungku diberi arang, lalu ububan dipompa untuk mendapatkan angin. Sehingga, tungku yang sudah diberi arang itu bisa terbakar. Setelah ada api, besi yang mau dibuat untuk pacul, arit atau parang, dibakar," ujarnya.

Setelah besi menganga, kata Mukhorobin, dipukul berkali–kali dengan palu, hingga gepeng. Lalu dibakar lagi dan dipukul lagi, hingga gepeng dan membentuk pacul, arit, atau parang.

Bila ada orang yang pesan lebih dari satu, Mukhorobin mengaku minta bantuan temannya. Mereka adalah Kusen, Sopian dan Mulyadi. Teman-temannya itu, dulunya pernah menjadi pandai besi. Tapi kini mereka lebih memilih bekerja serabutan.

"Tenaga saya sudah tidak sekuat dulu lagi. Saya sudah tua," ujar Mukhorobin.

Tempat kerja Mukhorobin kini sudah rusak. Kalau hujan gentengnya banyak yang bocor, sehingga dirinya tidak bisa bekerja.

"Kalau saya meninggal dunia, mungkin pande besi di sini sudah tidak ada lagi. Kedua anak saya saja lebih suka kerja pabrik," ujar dia.

Sudah hilangnya pande di Kampung Pandean ini juga diakui warga bernama Eko Sutikno (79). Menurut penduduk asli Kaliwungu tersebut, dikarenakan lahan pertanian sudah banyak berkurang dan munculnya alat-alat modern dari luar negeri.

"Saya dulu kalau cari peralatan pertanian ya di Pandean. Tapi sekarang, kalau mau cari handphone, ya di Pandean," kata Eko, sambil tertawa.

Kompas TV Pelatihan Bisnis Kecil Tepat Guna - Big Bang Show
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com