Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Yose Rela Jual Vespa Kesayangan demi Menangkar Penyu

Kompas.com - 31/03/2017, 12:22 WIB

KOMPAS.com - Berbagai tantangan tak meruntuhkan semangat Pati Hariyose (35) untuk menjaga lingkungan. Sejak empat tahun lalu, ia berjibaku menyambung ”napas” penangkaran penyu di kawasan Pasir Jambak, Kota Padang, Sumatera Barat. Demi misi itu, ia rela menjual vespa kesayangannya.

Pria yang biasa dipanggil Yose itu baru saja pulang dari kegiatan memonitor penyu di salah satu pulau kecil saat ditemui di kawasan Pasir Jambak, Selasa (21/3/2017). Meski lelah, ia senang berbagi cerita tentang penangkaran penyu.

Pasir Jambak merupakan salah satu obyek wisata di Kota Padang. Pasir di daerah itu berwarna putih kecoklatan. Pohon cemara tumbuh subur dan rindang. Saat petang, panorama matahari terbenam di sana amat menawan.

Kawasan yang menjadi salah satu areal bertelur penyu lokal dan penyu pengembara ini terletak di Kelurahan Pasie Nan Tigo, Kecamatan Koto Tangah, sekitar 24 kilometer arah utara pusat Kota Padang.

Penangkaran penyu milik Yose berada tak jauh dari rumahnya. Di sana terdapat bangunan kecil beratap seng. Di dalamnya diletakkan kotak-kotak kardus busa berisi pasir untuk menetaskan telur. Ada juga dua buah bak plastik untuk menampung anak penyu (tukik).

”Prasarana ini bantuan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Padang pada akhir 2016. Sebelumnya, saya gunakan peralatan yang lebih sederhana,” katanya.

Yose mulai menangkar penyu jenis Lekang dan Sisik pada Agustus 2013. Saat itu sedang masa puncak penyu bertelur. Setiap malam ada tiga sampai empat sarangan atau 400-500 butir telur di sana.

Hal itu mengundang para pemburu telur penyu untuk datang ke sana. Sering kali cara yang mereka lakukan dianggap brutal oleh Yose. Suatu hari, misalnya, ia melihat seekor induk penyu dibantai warga.

”Mereka membawa penyu itu ke darat, membedah, mengambil telur, lalu membuangnya ke laut. Saya menemukan penyu itu mati di pantai dan menguburnya. Saya miris serta kasihan melihatnya,” ujarnya.

Peristiwa itu membuat Yose tergerak untuk memulai penangkaran penyu. Selain untuk melestarikan keberadaan penyu, ia ingin aktivitas penangkaran penyu bisa menarik wisatawan datang ke Pasir Jambak. Yose ingin melihat Pasir Jambak berkembang sebagai destinasi wisata berbasis konservasi penyu.

”Mimpi besar saya adalah bagaimana masyarakat suatu hari nanti tidak hanya mencari telur penyu, tapi juga ikut menangkarnya. Artinya, apa yang saya lakukan tidak untuk saat ini saja, tetapi harapannya bisa membangun ekonomi jangka panjang bagi warga di sini,” ujarnya.

Otodidak

Yose belajar menangkar penyu secara otodidak.

”Sejak awal, tak banyak yang saya ketahui tentang penyu. Kebetulan saja saya orang pantai dan sering mengamati bagaimana telur penyu dipendam induknya di pantai hingga menetas,” tuturnya.

Berdasarkan pengamatan singkat itu, Yose mulai mengumpulkan sendiri telur penyu dan menangkarnya. Telur itu lalu ia timbun di pasir. Selanjutnya, ia menunggu telur-telur itu menetas.

”Saat itu saya tidak berani menetaskan telur banyak-banyak. Paling satu sarangan (sekitar 200 butir) karena belum begitu paham. Kalau sekarang, bisa sampai tujuh sarangan,” ungkap Yose.

Yose lalu mencari referensi lewat internet.

”Di internet, selain mempelajari lama telur menetas, juga mendapat informasi pakan yang cocok untuk tukik. Kebetulan, setelah menetas dan sebelum dilepas ke laut, tukik-tukiknya ditampung seminggu di kolam yang saya buat dari terpal,” katanya.

Selain mengumpulkan telur sendiri, Yose juga mencoba membeli dari pencari telur lainnya. Sayangnya, upaya itu tidak mudah.

”Mereka awalnya menolak karena takut dijebak kemudian dilaporkan ke polisi. Mereka lebih memilih menjualnya kepada orang lain di luar Pasir Jambak, padahal harga belinya sama,” ucapnya.

Yose pantang mundur. Ia terus membujuk para pencari telur agar menjual kepadanya.

”Saya bilang kepada mereka, ’Kalau bapak-bapak ditangkap polisi, saya bantu. Kalau telur dijual kepada saya, kan, bukan untuk konsumsi, tapi konservasi. Artinya, bapak-bapak sudah membantu saya’. Selain itu, saya juga menyampaikan surat edaran Wali Kota Padang tentang larangan menjual telur penyu,” katanya.

Para pencari telur akhirnya mau menjual telur penyu kepada Yose. Per butir telur, Yose membelinya Rp 3.000–Rp 4.000. Uang untuk membeli telur diambil Yose dari tabungannya saat mengurus rumah makan keluarga di Solo, Jawa Tengah.

”Sebelumnya, saya memang tinggal di Solo. Tapi, setelah bapak meninggal, saya pindah ke Padang untuk menemani ibu,” ujarnya menjelaskan.

Penyelamat penyu

Usaha Yose untuk menangkar penyu memang tidak selalu mulus. Alih-alih dipuji, ia justru sering menerima cibiran dan ejekan. ”Keluarga saya bahkan pernah meminta saya berhenti saja karena menilai penangkaran penyu hanya pekerjaan sia-sia,” katanya.

Yose juga harus memeras otak untuk mencari biaya agar penangkaran penyu terus berjalan. Sekali membeli telur yang bisa mencapai ratusan butir, Yose mengeluarkan sekitar Rp 1,2 juta.

Jika ditambah biaya operasional termasuk pakan untuk tukik dan lainnya, totalnya mencapai Rp 2 juta. Selama empat tahun ini, Yose sedikitnya sudah merogoh kocek sendiri hingga lebih dari Rp 20 juta.

Memang ada bantuan dari beberapa lembaga. Dinas Kelautan dan Perikanan Padang, misalnya, memberikan dana untuk kompensasi biaya adopsi tukik. Namun, jumlahnya masih jauh dari biaya operasional yang dikeluarkan Yose.

”Saya juga tidak memungut biaya kalau ada wisatawan yang mau melepas tukik meski ada yang memberikan sumbangan seikhlasnya. Biasanya saya hanya meminta mereka menceritakan penangkaran ini ke kerabat atau membagikan foto-fotonya lewat media sosial.”

Karena pemasukan nyaris tak ada, pada 2016 Yose kesulitan keuangan. Ia terpaksa menjual tiga dari empat vespa kesayangannya untuk membiayai pembelian telur penyu. Dalam waktu dekat, ia berencana menjual mobil tuanya untuk membeli perahu motor.

”Saya berharap ada bantuan boat dari instansi terkait untuk memonitor penyu karena selama ini saya harus menyewa sendiri. Tapi, kalau pemerintah tidak bisa bantu, saya jual mobil,” katanya.

Selain menjual barang-barang pribadi, Yose mencoba mengumpulkan dana dari galeri sederhana bernama Chelonia Mydas. Galeri itu menjual oleh-oleh berupa aksesori.

Meski kesulitan dana, Yose mengatakan tidak akan pernah berhenti. Buat dia, menyelamatkan penyu sama artinya menyelamatkan ekosistem laut.

”Penyu menjaga mata rantai makanan dan ekosistem laut. Kalau penyu hilang, satwa lain seperti ubur-ubur akan mendominasi. Kalau itu terjadi, terumbu karang bisa habis dan akhirnya ekosistem laut terganggu,” kata Yose.

Hingga saat ini, Yose sudah menetaskan dan melepas lebih dari 7.000 tukik. Yose merasa jumlah itu belum banyak. Namun, ia merasa kehadiran penangkaran penyu mulai memberi manfaat. Para wisatawan mulai tertarik pada penangkaran penyu. Warga pun bisa membuka warung untuk melayani kebutuhan wisatawan.

”Kalau dihitung-hitung secara komersial, saya sebenarnya tidak dapat apa-apa. Tapi tak jadi soal. Saya akan lanjut terus. Ini bentuk kontribusi saya (membalas) apa yang sudah diberikan alam kepada saya,” ujarnya. (Ismail Zakaria)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Maret 2017, di halaman 16 dengan judul "Jual Vespa demi Menangkar Penyu".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com