Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ikan di Maluku untuk Siapa?

Kompas.com - 09/02/2017, 16:00 WIB
Frans Pati Herin

Penulis

Lawan penangkapan ilegal

Di dekat tempat mancing ada rumah ikan milik pengusaha di Bitung, Sulawesi Utara, yang dijaga Reynaldo Pomto (54), nelayan asal General Santos, Provinsi Cotabato Selatan, Filipina. Cakalang dan anak tuna biasanya bermain di sekitar rumah ikan. Bos Reynaldo asli Taiwan yang sudah lama di Indonesia. Setelah diberitakan Kompas pertengahan Januari lalu, dua hari kemudian Reynaldo ditangkap anggota Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut Ambon. Bos Reynaldo mempekerjakan banyak nelayan Filipina.

Saat paling menyakitkan ketika nelayan lokal sedang mancing, kemudian datang kapal berukuran sekitar 100 gros ton menebar jaring. Jaring bermata kecil yang dipakai kapal tak memberi ampun bagi tuna dan anak cakalang, buruan nelayan lokal. Nelayan lokal pulang dengan tangan hampa karena semua ikan sudah terjaring. "Pernah saya hampir berkelahi dengan orang kapal. Tidak ada yang melindungi kami. Terpaksa kami melawan sendiri," kata Ketua Kelompok Nelayan Nusa Kamu, Desa Kawa, Samsul Sia.

Samsul pernah menyaksikan jual-beli pengaruh di laut antara aparat dan pencuri ikan. Ia menyatakan tidak lagi percaya pada hukum. Setelah ditangkap, kapal dilepas lagi. Kapal-kapal angkut pun leluasa bongkar muat ikan di tengah laut. Semua ujung-ujungnya duit.

Nelayan Desa Kawa kemudian membentuk kelompok pada 2013. Tujuan awal agar mereka bisa melaut bersama-sama, termasuk menghadapi risiko kejahatan di Laut Seram yang sering dilakukan nelayan asing. Setelah berjalan beberapa bulan, mereka mengumpulkan uang untuk membuat satu rumah ikan seharga Rp 7 juta. Rumah ikan itu dapat membantu mereka agar mudah mendapatkan ikan. Di rumah ikan mereka bisa mancing.

Selang berapa bulan, tali jangkar rumah ikan diputus orang tak dikenal. Semangat mereka tak surut. Mereka mencoba membuat rumah ikan baru. Saat mengangkut material ke tengah laut, kapal yang mereka sewa tenggelam sehingga mereka harus membayar Rp 10 juta. Mereka berutang lagi. Selama kelompok itu berdiri, mereka belum pernah menerima bantuan pemerintah. Pernah diberikan satu perahu. Namun, karena perbedaan pilihan dalam hajatan politik lokal, penguasa setempat menarik kembali bantuan. Jumlah anggota kelompok itu kini 40 orang.

Samsul dan teman-teman berjuang sendiri mengais potensi Laut Seram yang menurut Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan seperti yang dihimpun dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku sebesar 631.704 ton per tahun. Potensi ikan di perairan Maluku sekitar 3,03 juta ton per tahun atau 30,76 persen potensi nasional. Sementara itu, pencurian ikan dibiarkan leluasa.

Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon, Ruslan Tawari, yang pernah meneliti penangkapan ilegal di kawasan perairan itu menyayangkan betapa negara menyia-nyiakan potensi yang dimiliki. Potensi ikan jatuh ke tangan pencuri asing dan mafia dalam negeri. Nelayan lokal yang punya ketangguhan mencari ikan tak dibantu. "Di mana-mana petinggi negara kita mengklaim bahwa ikan kita banyak. Tapi, apa hasilnya untuk masyarakat?" ujarnya.

Kebijakan nasional dalam pemberantasan penangkapan ikan ilegal diapresiasi, tetapi perlu diikuti dengan pemberdayaan nelayan agar mereka ikut sejahtera. Maluku dengan potensi laut tertinggi di Indonesia barangkali bisa dijadikan pusat pengelolaan perikanan secara nasional.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Februari 2017, di halaman 23 dengan judul "Ikan di Maluku untuk Siapa?".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com