Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Para "Asgar" Merawat Tradisi Tukang Cukur Garut

Kompas.com - 17/01/2017, 09:45 WIB

Ada lantas mempraktikkan bagaimana cara menenteng kursi lipat dan tas yang mirip koper kecil. Tas itu penuh dengan beragam peralatan, seperti beberapa jenis gunting, sisir, bedak, silet, pengasah, dan handuk.

Dia tak lama menjadi tukang cukur keliling di desanya. Untuk menambah pengalaman, Ada ikut pamannya yang menjadi tukang cukur keliling di pinggir Kota Bandung. Pada awal tahun 1970, Ada ”hijrah” menyusul pamannya di kawasan Pasar Senen (Jakarta Pusat), lalu ke Kramatjati (Jakarta Timur), kemudian kembali ke Bandung pada tahun 1988.

Sejak di Jakarta hingga kembali ke Bandung, ia tak lagi menjadi tukang cukur keliling, tetapi ikut saudaranya yang punya tempat potong rambut. Pendapatannya pun turut terangkat. Saat masih keliling, ia mengutip ongkos Rp 3.000 per kepala (dewasa) dan Rp 1.500 untuk anak. Sekian tahun kemudian, ongkos cukur rambut sudah menjadi Rp 6.000-Rp 7.000 per kepala.

Sejahtera bersama

Ada menekuni pekerjaannya demi memberi kehidupan untuk keluarga. Ketika masih di Jakarta, ia berpenghasilan sekitar Rp 1 juta per bulan. Sekitar 10 tahun kemudian, setelah pindah ke Bandung, pendapatan bersihnya mencapai Rp 2 juta hingga Rp 2,5 juta per bulan.

Umumnya hari kerja pemangkas rambut Asgar tak penuh sebulan karena mereka punya sistem giliran—biasa disebut ”pergantian antarwaktu” (PAW)—demi memberi kesempatan kerja bagi sesama tukang cukur. ”Kami gantian bekerja. Seminggu di kios, seminggu pulang. Pengaturan waktu kerja dirundingkan,” kata Ada.

Itulah sebabnya, sekalipun bekerja di luar kota, ia tetap bisa menggarap sawah serta menjalankan tugas sebagai ketua rukun warga (RW) di Kampung Peundeuy. Lebih dari 80 persen warga di RW-nya hidup dari bekerja sebagai tukang cukur. Kehidupan mereka lumayan sejahtera. Banyak rumah dibangun bertingkat dengan model ”minimalis”. Pendidikan warga juga membaik.

Menjadi tukang cukur juga memberi kebanggaan karena bisa memegang kepala orang penting. ”Saya pernah dua kali ke rumah Pak Ali Sadikin untuk memangkas rambutnya. Rasanya gemetar karena tahu Pak Ali itu Gubernur Jakarta. Pak Ali tak banyak berbicara. Setelah dicukur, dia bilang terima kasih,” katanya mengenang.

Tak terhitung berapa banyak kepala pejabat di kepolisian dan militer serta dokter di RS Hasan Sadikin, Bandung, yang jadi pelanggannya. Sekalipun sejak 2011 memilih pulang kampung untuk merawat istrinya, Oya (65), yang sakit, Ada tetap menjalin komunikasi dengan mantan kliennya. Beberapa di antara mereka menjadi dokter senior di RSU Garut. ”Saya mudah konsultasi tentang sakit istri saya karena kenal mereka,” ucapnya.

Abah Ada kini menjadi salah satu sesepuh tukang cukur di Banyuresmi. Ia telah menularkan ilmunya kepada anak, kerabat, dan kaum muda lain. Ilmu itu lantas dimanfaatkan para penerusnya untuk meningkatkan taraf hidup. Di antara anak didik itu, ada yang kemudian menjadi dosen dan pejabat daerah.

Pada masa tuanya, Abah Ada tetap bersemangat mengajari siapa saja yang berminat menjadi tukang cukur. Tak hanya di Garut, generasi barber baru hasil sentuhannya itu kemudian mengembangkan usaha pangkas rambut di daerah-daerah lain di Indonesia. (IAM)


Ada Syuhada

Lahir: Garut, 17 Agustus 1948
Pendidikan: Kelas III sekolah rakyat
Pekerjaan:
Tukang cukur (sejak tahun 1965)
Pengajar di Sekolah Cukur Abah Atrox di Banyuresmi, Garut

Istri: Oya (65)
Anak: Imam Santosa (42)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Januari 2017, di halaman 16 dengan judul "Merawat Tradisi Tukang Cukur Garut".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com