Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menanti Kedaulatan Negara di Sebatik

Kompas.com - 11/01/2017, 15:03 WIB
Lukas Adi Prasetya

Penulis

Orang Sebatik punya istilah "tahu sama tahu" untuk menggambarkan mengapa barang dari Tawau bisa masuk ke Sebatik. Dipantau, dibiarkan, dan kadang ditindak tegas, mungkin itulah sikap Malaysia.

Buktinya, beberapa pekan lalu, perahu ini disergap patroli polisi Malaysia. Saril (40), warga yang juga buruh angkut, ikut menumpang kapal itu.

"Dendanya mahal, dihitung per barang. Satu tabung elpiji dendanya 400 ringgit (sekitar Rp 1,1 juta). Kalau gula pasir dihitung per 24 kilogram, dendanya 60 ringgit, padahal perahu membawa lebih dari 200 kilogram gula pasir. Total denda yang harus dibayar sekitar Rp 30 juta. Rugi. Tetapi, ya, kalau bukan kami, siapa yang membawa barang untuk warga?" kata Saril.

Harga dan kebiasaanlah yang terus menentukan mengapa Sebatik "mengimpor" dari Tawau daripada Tarakan. Sebagai contoh, beras kemasan 10 kg asal Malaysia dijual di Sebatik Rp 90.000, sedangkan harga beras asal Indonesia yang didatangkan dari Tarakan Rp 150.000.

"Rasa nasinya lebih enak beras Malaysia," kata Rusman, warga Sebatik.

Lingkaran persoalan ini tak pernah terurai. Memang, Sebatik pun "mengekspor" barang-secara ilegal-ke Tawau, seperti ikan, pisang, dan sawit. Tokoh masyarakat Sebatik yang juga Sekretaris Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kaltara, Masjidil, mengatakan, Sebatik mengirim minimal 20 ton ikan, 20 ton pisang, dan 100 ton sawit ke Tawau, setiap hari.

"Ikan-ikan yang punya nilai ekonomi tinggi, seperti tuna, tenggiri, bawal, kakap, dijual ke Tawau. Ikan-ikan murah, seperti bandeng dan kembung, itulah yang dijual ke Sebatik, Indonesia. Tidak ada gudang penyimpanan (cold storage). Nelayan tidak punya pilihan selain secepatnya menjual ikan ke Tawau agar cepat jadi duit," ujar Masjidil.

Sebenarnya, Sebatik yang wilayahnya (milik Indonesia) seluas 246 kilometer persegi dan berpenduduk hampir 40.000 jiwa ini hanya butuh lebih banyak perhatian dan keberpihakan pemerintah. Memang, Sebatik sudah jauh lebih baik dibandingkan dulu, tetapi jelas masih kurang, apalagi jika memosisikan Sebatik sebagai "etalase" wajah perbatasan.

Jalan lingkar di Sebatik, yang terbentang hampir 90 kilometer, hampir separuhnya tidak mulus lantaran berlubang, bergelombang, hingga tergerus.

"Aspal cepat rusak karena banyak dilewati truk sawit, ditambah tanahnya yang labil. Berkendara di malam hari harus ekstra hati-hati karena tidak ada lampu penerangan jalan," ujar Asmil (34), warga Sebatik.

Tidak ada stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) di Sebatik, dan hanya ada satu agen penjual minyak dan solar (APMS).

"Antrean di APMS tidak separah dua-tiga tahun lalu. Namun, warga yang tinggal jauh terpaksa beli bensin eceran yang per botol harganya Rp 10.000. Bensin asal Malaysia pun kadang masih masuk," kata Kadir, tokoh masyarakat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com