Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sekolah "Indonesia Mini" di Kota Batu

Kompas.com - 05/01/2017, 08:01 WIB

Tuduhan

Tekad Julianto untuk membangun sekolah kembali diuji. Ternyata sulit juga mengurus perizinan. Bertubi-tubi ia terima tuduhan bakal mendirikan sekolah untuk kristenisasi, sekolah beraliran Islam radikal, bahkan sekolah beraliran komunis.

Sempat Julianto nyaris patah arang dan tercekat rasa penasaran, kenapa mau berbuat baik saja sulit? Namun, seusai ditolak mengurus perizinan, datang seseorang berpakaian pegawai negeri sipil yang menepuk pundaknya seraya berkata, "Sabar, Mas. Berbuat baik itu memang susah," kenangnya menirukan sosok itu.

Julianto pun bangkit lagi untuk memperjuangkan izin sekolah gratis. Tahun 2007, izin SMA Selamat Pagi Indonesia pun keluar. Sekolah mulai menerima siswa pada tahun itu juga. Syarat utama siswa adalah yatim atau piatu serta harus berasal dari berbagai pelosok Indonesia, suku bangsa, dan agama.

Satu angkatan minimal harus ada perwakilan pelajar dari lima pulau besar di Indonesia serta dari lima agama di Indonesia. Julianto mencita-citakan "Indonesia Mini" di sekolah itu. Ia ingin membangun generasi bangsa yang menjadikan perbedaan sebagai kekuatan, bukan kelemahan. Seperti air, semen, bata, dan batu, jika bersatu akan menjadi bangunan kokoh. Bangunan Indonesia Raya.

Sekolah swasta itu dirancang berasrama dan gratis. Setiap siswa bahkan mendapat uang saku Rp 150.000-Rp 200.000 per bulan. Saat ini, SMA Selamat Pagi Indonesia mendidik siswa angkatan ke-9 dengan tiap-tiap angkatan jumlahnya antara 30 orang dan 80 orang. Lembaga ini dikelola Yayasan Selamat Pagi Indonesia.

Serius

Setelah sekolah terbangun, dalam dua tahun, Julianto hanya datang dua kali ke sekolah itu. Ia merasa sudah cukup mewujudkan janjinya. Bisa dibilang, saat itu sekolah diurus sekenanya.

Lalu, pada suatu malam saat bekerja di luar kota Desember 2008, Julianto tiba-tiba kangen dengan sekolah itu. Ia bahkan menangis saat mendengar salah satu penghuni sekolah mengangkat teleponnya. Pernah lekat dengan dunia kelam saat remaja, lalu bisa hidup berkecukupan, ia merasa seperti ditegur Tuhan, kenapa ia tak kunjung serius membantu anak-anak sekolah?

Akhirnya, tahun 2009, Julianto pamitan dari MLM tempatnya bekerja dan fokus mengelola SMA Selamat Pagi Indonesia. Ia melepaskan pendapatan puluhan hingga ratusan juta rupiah per bulan demi membantu pendidikan anak-anak.

Julianto mulai menghabiskan banyak waktu di Kota Batu untuk mengurus sekolah. Pendidikan tiga anaknya di Surabaya banyak diurus istrinya. Anak keduanya, Jean Angeline Michelle, sudah melahirkan lima novel. Anak sulungnya, Stefanus Dominique Jevon, aktif bermain sepak bola hingga dikirim ke luar negeri.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com