Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perjuangan Petani Sukamulya Melawan Penggusuran

Kompas.com - 25/11/2016, 14:00 WIB
Dendi Ramdhani

Penulis

BANDUNG, KOMPAS.com - Sebuah mobil mini bus warna hitam menepi di depan Kantor Lembaga Bantuan Hukum Bandung, di Jalan Sidomulyo, Bandung, Kamis (24/11/2016). Saat itu, mega mendung menggelayut di langit Bandung.

Tiga petani Desa Sukamulya, Carsiman (44), Sunadi (45), dan Darni (66) satu per satu keluar dari mobil. Tak banyak kata yang keluar dari mulut mereka.

Didampingi para istrinya, ketiganya diarahkan untuk menyantap makan malam yang telah disediakan dalam meja besar di ruang tengah kantor LBH Bandung.

Di meja makan pun percakapan masih sunyi. Mereka hanya fokus menatap hidangan dan lahap menyantap nasi kotak. Ketiganya tak bisa menyembunyikan rasa lapar, sebab sudah sepekan mereka menyicipi dinginnya sel tahanan Markas Polda Jawa Barat.

Tiga petani itu ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jawa Barat lantaran dianggap menjadi provokator kericuhan saat pengukuran lahan untuk proyek Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kamis (17/11/2016) lalu.

Namun, penahanan ketiganya ditunda menyusul adanya surat permohonan penangguhan penahanan dari LBH Bandung.

(Baca juga: Dijamin Istri, Tiga Petani Desa Sukamulya Ditangguhkan Penahanannya)

Setelah makan malam, ketiganya duduk berjajar di meja dan kursi yang sama. Posisi duduk Carsiman langsung berubah sewaktu wartawan melempar pertanyaan.

"Harapannya saya petani hanya ingin bekerja di bidang keahlian saya, menanam padi dan sejenisnya," tutur Carsiman disambut anggukan kepala Darni dan Sunadi.

Di pojok sofa, tatapan Sunadi tampak kosong. Dia masih meraba nasibnya jika suatu waktu tenaga petani sebagai benteng terakhir pertahanan warga Desa Sukamulya runtuh.

"Saya punya lahan luasnya 300 bata, kami tanam padi. Setiap dua kali panen bisa dapat 5-6 ton, kan lumayan," ucap Sunadi.

Melenyapkan hasil bumi

Selain tempat tinggal, lahan garapan warga kini terancam musnah tergusur proyek Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB). Proyek bandara yang masuk dalam Masterplan Percepatan Dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3I) sejak era Presiden SBY itu membutuhkan lahan sedikitnya 1.800 hektar.

Forum Perjuangan Rakyat Sukamulya (FPRS) mencatat, dari total kebutuhan lahan itu, baru 900 hektar lahan yang sudah dibebaskan. Dari sisa 900 lahan yang belum dibebaskan, 740 hektar di antaranya berada di Desa Sukamulya. Artinya, proyek bandara akan melenyapkan empat desa, termasuk Sukamulya.

"Kalau yang 900 hektar harus dipenuhi maka Desa Sukamulya hilang. Dari 11 desa terdampak, memang tidak semua desa hilang, desa lain hanya lahan pertaniannya hilang. Tapi empat desa yakni Sukamulya, Kertasari, Cintakarya, Wanakarya seluruhnya hilang," ucap Sekjen FPRS Bambang Nurdiansah.

Tercatat, ada 1483 kepala keluarga di Desa Sukamulya. 66 kepala keluarga telah pindah dan menerima uang pembebasan lahan. Perkara proyek BIJB menjadi isu besar di Majalengka. Sebab, keberadaan bandara juga mengancam penghasilan warga Sukamulya yang 90 persen berprofesi sebagai petani.

Sukamulya memang dianugerahi tanah yang subur. Bambang berkata, ada 700 lahan pertanian di Sukamulya.

"Tiap satu hektar sawah mampu menghasilkan tujuh ton padi dalam sekali panen. Maka dalam semusim akan menghasilkan 4.900 ton padi kering. Jika dikalikan harga pemerintah Rp 4.700 per kilogram maka mencapai angka Rp 23 miliar per musim. Kalau setahun dua kali menanam mencapai Rp 46 miliar," tuturnya.

Angka tersebut belum ditambah hasil bumi lainnya seperti palawija, timun, cabai dan semangka.

"Di tahun 2014 pada saat harga cabai di pasaran mencapai Rp 90.000 per kilo, di desa kami perputaran uang per hari mencapai Rp 1 miliar saat panen raya. Itu data dari data pengepul," katanya.

Sebab itu, perkara penggantian lahan bukan hal utama yang mereka harapkan. Sebab, lahan yang baru belum tentu mempunyai tingkat kesuburan seperti di Sukamulya.

"Ini seperti ada program pemiskinan yang tersistematis, dengan cara penggusuran. Mana kala kita harus tergusur, harus ada lahan pengganti, ganti untung. Selama pindah, karena mungkin tanah diolah belum menghasilkan ingin ada subsidi sebelum kami mandiri," paparnya.

Petani selalu dikorbankan

Divisi Bantuan Hukum dari Konsorsium Pembaruan Agraria Syamsudin mempertanyakan komitmen pemerintah tentang reformasi agraria.

"Apa yang dilakukan pemerintah hari ini bertentangan dengan Nawacita yang selalu digembar-gemborkan. Katanya distribusi tanah 9 juta hektar, tapi di lapangan malah tanah warga Sukamulya direbut atas nama pembangunan infrastruktur untuk kepentingan umum," ungkapnya.

Jika mengacu pada UU No 2 Tahun 2012, lanjut Syamsudin, semestinya Pemprov Jabar melalui biro aset dan BPN lebih dulu menggelar musyawarah dengan warga terdampak. Minimnya upaya mediasi pun memicu penolakan keras dan berujung bentrokan.

"Warga yang dianggap menghadang malah ditembaki. Ujungnya kriminalisasi terhadap tiga warga ini. Proses kriminalisasi terjadi di seluruh Indonesa dalam rangka pembangunan infrastruktur untuk kepentingan umum yang selalu mengorbankan petani, dianggap sebagai penghalang dan provokator," paparnya.

"Kami perlu mendesak Presiden dalam rangka pembangunan infrastruktur jangan sampai menjadikan petani jadi korban melalui (tindakan) represif yang melibatkan petugas keamanan," tegasnya kemudian.

(Baca juga: Pengukuran Lahan Bandara Internasional Jabar Mendapat Penolakan Warga )

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com