Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bengkulu Utara Selidiki Kabar Penjualan Lahan Pulau Enggano ke Warga Asing

Kompas.com - 21/11/2016, 23:30 WIB
Firmansyah

Penulis

BENGKULU, KOMPAS.com - Asisten I Pemda Bengkulu Utara, Sahat M Situmorang menyatakan, pihaknya telah menginstruksikan pada camat Pulau Enggano untuk melakukan inventarisasi kepemilikan lahan di wilayah itu.

Instruksi ini diberikan pada camat dan perangkat desa tekait informasi yang beredar bahwa beberapa wilayah pulau terluar di Bengkulu itu telah dibeli oleh warga negara asing.

Sebelumnya beredar informasi beberapa kawasan di Pulau Enggano, tepatnya Pulau Dua, kepemilikan lahan dibeli oleh warga negara asing.

"Saya instruksikan pada camat untuk cek pemilik-pemilik lahan di Pulau Dua dan Pulau Enggano, apakah benar tanah-tanah di sana dikuasai atau dimiliki oleh warga negara asing," kata Sahat saat menghadiri diskusi Pembuatan Perda Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Adat Enggano, Senin (21/11/2016).

Baca juga: Warga Curhat, Harga BBM di Pulau Enggano Masih Rp 17.000 Per Liter

Ia mengaku baru mendapat informasi dugaan penjualan tanah di pulau itu kepada warga negara asing. Ia akan mengecek kebenaran informasi tersebut. 

"Terima kasih saya telah diberi tahu dugaan itu. Pak Camat tolong cek dan berikan laporan pada saya," kata Sahat.

Informasi dimilikinya, beberapa lahan di sekitar wilayah Pulau Enggano dan Pulau Dua menjadi pembicaraan masyarakat karena dikabarkan dijual ke warga asing.

Pulau Dua merupakan pulau terpencil yang letaknya tidak jauh dari Pulau Enggano dan tak berpenghuni. Tanah di pulau tersebut adalah milik salah satu suku yang mendiaminya, yakni Suku Kaitora.

Kepala Suku Kaitora, Raffly Zen Kaitora, mengaku agak sulit bagi dirinya untuk mengontrol anggota sukunya agar tidak menjual aset tanah kepada pihak lain. Ia tidak menampik bahwa beberapa tanah di pulau tersebut dimiliki oleh pihak luar dari Pulau Enggano.

"Sesungguhnya kami memiliki aturan adat, bahwa kepemilikan lahan untuk pendatang tidak mudah diberikan pada pendatang, ada aturannya. Namun aturan hukum adat kami dirasa belum terlalu kuat. Sehingga kami mengusulkan aturan adat kami itu dipayungi oleh sebuah perda agar benar-benar diakui oleh negara," harap Rafli.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com