Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jembatan Apung Penumpu Masa Depan Warga Lempong Pucung

Kompas.com - 15/11/2016, 18:46 WIB

Tim Redaksi

KOMPAS - Keterpencilan akibat bentang alam lama merenggut hak warga Kampung Laut di selatan Cilacap meretas hidup layak. Kini, angin harapan itu bertiup dengan kehadiran jembatan terapung.

Berpayung mendung, Ayodya Putri (9) berjingkat menaiki perahu compreng di dermaga Dusun Lempong Pucung, Desa Ujungalang, Senin (7/11/2016). Di atas perahu, 10 anak lain berseragam putih-merah telah menanti. Ada yang duduk di dingklik, papan kayu, dan alas terpal. Lambaian Astuti (33), ibunda Putri, tampak berat saat perahu menjauh.

"Baru seminggu ini, Putri saya lepas sendiri. Sebelumnya, masih saya temani naik perahu sampai (Dusun) Motean," ujar Astuti, warga Dusun Lempong Pucung di Kecamatan Kampung Laut, Cilacap, Jawa Tengah.

Perahu itu mengantarkan Putri dan puluhan pelajar lain menuju bangunan induk Sekolah Dasar Negeri Ujungalang di Dusun Motean. Sejak awal tahun ajaran baru, seiring naik kelas IV SD, Putri harus bolak-balik naik perahu ke sekolah.

Sebelumnya, saat kelas I hingga kelas III SD, ia dan teman-teman seusianya di Dusun Lempong Pucung belajar terpisah. Para orangtua keberatan anak-anak bolak-balik menyusuri laguna dengan perahu. Mereka minta kebijakan khusus.

Wartatik, guru SD di Lempong Pucung, menuturkan, pihak SDN Ujungalang akhirnya membolehkan aktivitas belajar- mengajar kelas I-III SD bagi bocah-bocah Lempong Pucung tidak dilakukan di sekolah induk. Namun, saat kelas IV SD, mereka harus bergabung lagi.

Aktivitas terhambat

Sebenarnya, perjalanan menyeberangi laguna tidak terlalu jauh. Dari dermaga kecil, perahu menyusuri kanal sempit dan selanjutnya menyeberangi sungai di sekitar Segara Anakan selebar 50 meter, yang memisahkan antara Lempong Pucung dan bagian utama Kecamatan Kampung Laut.

Masalahnya, arus sering bergolak. Tak jarang, buku dan seragam siswa basah terciprat air. Bahkan, saat angin kencang, perahu bisa sampai terbalik. Pendangkalan laguna juga menjadi soal. Jika air surut, perahu tak bisa melintasi kanal.

"Pasti kandas. Anak-anak sering terlambat, bahkan batal sekolah," ujar Masrokin, operator perahu.

Secara geografis, Lempong Pucung berimpitan dengan Pulau Nusakambangan. Posisi yang terpisah dari pusat Desa Ujungalang di Dusun Motean membuat aktivitas sosial dan ekonomi sekitar 1.000 warga terhambat. Perahu menjadi satu-satunya penghubung.

Kondisi ini menjadi beban. Sekali menyeberang, anak-anak harus membayar Rp 1.000 untuk ongkos. Cukup berat bagi warga yang kebanyakan nelayan.

Menurut Heri Wahyono, tokoh masyarakat Dusun Lempong Pucung, anak-anak yang sudah masuk SMP dan SMA tidak jarang berpisah dengan orangtuanya dan memilih kos di dekat sekolah. Selain menghemat ongkos, langkah ini juga untuk mengurangi risiko setiap hari naik perahu.

Untuk belanja perkakas dan kebutuhan rumah tangga, mereka juga mesti sewa perahu hingga Rp 50.000. Otomatis harga beras dan minyak goreng selalu lebih mahal Rp 3.000-Rp 5.000 ketimbang di dusun lain.

Jembatan apung

Namun, Minggu (6/11) pagi, senyum menyembul tebersit di wajah Wahyono dan puluhan warga Lempong Pucung lainnya. Lima perahu compreng menarik bangunan jembatan berwarna biru-kuning, mengapung mendekati dermaga kecil di dusun itu. Jembatan itu lebih dari enam bulan terakhir dikerjakan di kawasan Majingklak, 11 kilometer dari Desa Ujungalang.

Kebanggaan warga bertambah sebab jembatan itu adalah yang pertama di Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Balitbang PUPR) Herry Vaza mengatakan, jembatan sepanjang 70 meter yang menyatukan kembali warga Lempong Pucung dengan kerabat mereka di desa lain memakai teknologi apung.

"Jembatan apung ini dirancang tangan-tangan anak bangsa," katanya.

Jembatan itu dirintis sejak 2015 kala Indroyono Soesilo menjabat Menko Kemaritiman. Selintas, bangunan ini mirip jembatan pada umumnya. Dengan kaki-kaki dan struktur tubuh dari baja ringan.

Sementara dua ujung jembatan dikaitkan dengan daratan memakai engsel baja. Bedanya, jika tapak pijakan kaki-kaki jembatan biasanya dengan tiang pancang, pada jembatan ini dibuat dari wahana apung yang disebut ponton.

Dua ponton yang menahan beban itu masing-masing setinggi 1,25 meter, lebar 4,6 meter, dan panjang 8 meter. Bahannya dari beton campuran komposit dan foam yang dibuat berongga di bagian tengah.

Dengan demikian, memungkinkan terapung stabil dan menjadi pijakan jembatan. Tinggi puncak lengkung jembatan dari muka air 5 meter sehingga tak mengganggu aktivitas nelayan. Jembatan ini bisa dilintasi pejalan kaki dan sepeda motor berbeban maksimal 2 ton.

Pemilihan teknologi apung, menurut Ketua Tim Riset Sistem Modular Wahana Apung Kementerian PUPR Nazib Faizal, untuk memecahkan hambatan alam di Segara Anakan. Selama ini, jembatan konvensional sulit dibangun akibat sedimentasi lumpur sedalam 30 meter di laguna.

Akibatnya, jembatan dengan tiang pancang nyaris mustahil didirikan. "Sekarang, anak-anak sekolah bisa menyeberang tanpa khawatir. Distribusi barang lancar sehingga harga bisa sama," kata Nurindra Wahyu, Camat Kampung Laut.

Isolasi alam telah lama menjauhkan warga Kampung Laut dari gebyar pembangunan. Namun, kehadiran jembatan apung pertama di Segara Anakan membuktikan, mereka bagian penting bangsa.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 November 2016, di halaman 1 dengan judul "Jembatan Apung Penumpu Masa Depan Warga Lempong Pucung".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com