Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Mbah Ijem, Wanita Penjaga Gua di Tengah Tebing Curam

Kompas.com - 17/10/2016, 14:10 WIB
Wijaya Kusuma

Penulis

GUNUNGKIDUL, KOMPAS.com - Gua Langse di Dusun Gembung, Desa Giricahyo, Kecamatan Purwosari, Gunungkidul, adalah salah satu lokasi yang kerap dikunjungi warga untuk bertapa.

Gua yang konon menjadi tempat panembahan Senopati bertirakat sebelum membuka alas Menarik untuk menjadi ibu kota Kerajaan Mataram berada jauh dari permukiman penduduk.

Untuk bisa sampai ke gua ini, pengunjung harus berjalan melewati jalan setapak menembus rerimbunan pohonan. Tak hanya itu, pengunjung juga harus punya keberanian untuk bisa sampai ke mulut Gua Langse karena berada di tengah-tengah tebing.

Pengunjung harus turun dengan tangga bambu dan menitih pinggiran tebing vertikal yang curam dengan berpegangan batu. Sementara di bawah tebing terhampar laut pantai selatan. 

Kendati gua tersebut berada di lokasi yang curam, namun kerap dikunjungi orang untuk tirakat atau bertapa. Terlebih pada bulan Syuro, banyak warga dari luar kota yang datang untuk tirakat.

Sang penunggu gua

Sesampainya di mulut gua akan tampak perabotan dapur, seperti panci, ember besar tampungan air dan beberapa kayu bakar yang tertumpuk. Selain itu, terdapat beberapa baju lusuh yang sedang dijemur.

Baju dan perabotan memasak itu adalah milik Sukijem atau sering dipanggil Mbah Ijem. Di tengah keheningan, jauh dari hiruk pikuk masyarakat dan kesederhanaan, perempuan berusia 70 tahun ini tinggal di mulut Gua Langse di Dusun Gembung, Desa Giricahyo, Kecamatan Purwosari, Gunungkidul.

Mbah Ijem mengaku sudah tinggal di mulut Gua Langse selama 48 tahun. Selama itulah ia hidup dengan tentram dan tenang di mulut gua.

"Saya sudah tinggal di sini sejak tahun 1968," ujar Mbah Ijem, Minggu (16/10/2016).

Mbah Ijem menceritakan, awalnya pada tahun 1968 ia mencari pekerjaan untuk membantu perekonomian keluarganya.

Namun meski telah berusaha, Mbah Ijem tidak juga mendapatkan pekerjaan. Di tengah kekalutan tidak kunjung mendapatkan pekerjaan, ia lantas memutuskan bertirakat, bertapa untuk meminta petunjuk kepada yang Maha Kuasa.

"Saya lalu prihatin, tirakat bertapa di Gua Cerme empat bulanan. Lalu ke sini (Gua Langse)," ucapnya.

Di Gua Langse inilah Mbah Ijem justru mendapatkan ketenangan batin dan hidup lebih tentram, meskipun jauh dari keramaian dan keluarganya.

"Saya niat tinggal di sini (Gua Langse). Tidak pulang," tegasnya.

Pernah suatu saat, keluarganya datang untuk menjenguk. Saat bertemu dan melihat tempat tinggal Mbah Ijem, keluarganya mencoba mengajak pulang untuk kembali tinggal di rumah. Namun Mbah Ijem menolak ajakan itu.

"Saya lebih tenang dan tentram di sini. Anak saya juga sudah kerja di Jakarta," urainya.

Hari-hari Mbah Ijem dihabiskan untuk menyambut pengunjung yang datang. Kalaupun tidak ada pengunjung, ia hanya duduk di mulut gua dan beraktivitas seperti memasak dan mencuci.

Pengunjung yang datang untuk bertapa atau sekedar berwisata biasanya melepas lelah di mulut gua tempat Mbah Ijem. Perempuan 70 tahun ini selalu menyapa dengan ramah dengan menggunakan bahasa Jawa Kromo Inggil.

Sambil berbincang-bincang, Mbah Ijem menyajikan makan seperti ketela dan minuman teh ataupun kopi untuk sekadar mengisi perut dan sambil melepas lelah.

Perempuan asal Solo ini juga tidak memasang harga untuk setiap makanan dan minuman. Kendati demikian, pengunjung selalu memberikannya uang setiap habis makan atau minum.

Di usianya yang tak lagi muda, setiap empat hari sekali mbah Ijem berjalan kaki keluar dari mulut gua. Perlahan-lahan ia meniti pinggiran tebing dengan tinggi sekitar 20 meter dan naik ke atas dengan tangga kayu.

Dia harus menuju desa terdekat untuk membeli kebutuhan hidup seperti bahan makanan, teh, kopi dan gula.

Selama tinggal di mulit Gua Langse, Mbah Ijem mengaku tidak pernah mengalami sakit serius.

"Enggak pernah sakit, paling hanya masuk angin," tandasnya.

Ditemani seekor anjing

Tinggal di mulut Gua Langse dengan kondisi yang ekstrem, Mbah Ijem ditemani oleh seekor anjing jantan berbulu coklat. Anjing ini sudah dua tahun menemani hari-hari Mbah Ijem.

"Namanya Bambang, dia yang menemani saya di sini," ujarnya.

Anjing ini bertugas menjaga makanan dari kera yang sering kali datang ke tempatnya untuk mencuri makanan.

"Sering sekali nyuri makanan di sini. Saya usir datang lagi," ucapnya.

Hingga akhirnya saat Ijem ke desa terdekat untuk membeli kebutuhan hidup, oleh salah seorang warga ia diberi seekor anak anjing jantan. Berkat anjing yang diberinya nama Bambang, kera-kera takut mencuri makanan atau barang-barang lain milik Mbah Ijem.

"Bambang usainya sekitar 2 tahun. Sekarang kera tidak mau ke sini lagi, takut," katanya.

Bambang, kata Mbah Ijem, merupakan anjing penurut dan selalu mematuhi perintahnya. Dia juga selalu setia mengikuti ke mana pun Mbah Ijem pergi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com