Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ridwan Kamil
Wali Kota

Arsitek, Wali Kota Bandung, Jawa Barat

Memimpin di Era Milenial Digital

Kompas.com - 14/10/2016, 13:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorTri Wahono

Rakyat di era milenial, dengan keseharian internet dan media sosial, bisa mengawasi dan mengomentari langsung semua jejak langkah harian para pemimpinnya. Sebuah interaksi e-demokrasi.

Demokrasi langsung Indonesia dengan one man one vote ini memberi banyak dinamika. Siapa pun hari ini bisa terpilih menjadi pemimpin selama mampu memikat hati para pemilih.

Sisi lainnya, ternyata pemimpin tidak hanya dipilih karena rasionalitas rekam jejaknya. Ada juga pemimpin terpilih karena hal-hal emosional seperti karena penampilannya, karena agamanya, kesukuannya, atau karena bagi-bagi duitnya.

Namun di sisi lain, demokrasi langsung ini berbahaya jika berada di masyarakat yang tidak siap. Masyarakat secara emosional terkadang memaksa pemimpin untuk mengikuti maunya, walau bertentangan dengan hukum formal.

Di sinilah tantangan kepemimpinan hari ini. Karenanya demokrasi terdidik menjadi penting agar tidak jatuh pada tirani populisme.

Karenanya, pemimpin juga harus berani melawan arus jika keputusan publiknya yang sudah memenuhi asa etika keadilan dan hukum masih juga diprotes mayoritas publik yang emosional.

Contoh paling sering adalah kasus-kasus penertiban kampung liar ilegal yang seringkali ditolak warga, padahal sudah diberi ruang dialog, pengertian, dan diberikan hunian pengganti.

Dalam demokrasi hari ini , banyak warga yang menginginkan perubahan namun tidak mau ikut proses pahitnya.

Ingin maju seperti Singapura namun tidak mau ikut dalam perombakan infrastrukturnya. Ingin hebat seperti Jepang, namun tidak mau ikut dalam revolusi mentalnya. Padahal untuk hidup sehat terkadang harus makan obat pahit.

Karenanya pemimpin yang kalah determinasi akan selalu terjebak dalam populisme mayoritas. Karena sebaik-baiknya pemimpin adalah pemimpin yang adil dan berani.

Pemimpin hari ini diharapkan memiliki kedekatan emosional dengan rakyat. Untuk budaya timur yang menghargai silaturahim, kehadiran emosional pemimpin sangatlah diapresiasi.

Namun kedekatan di era milenial tidaklah harus secara fisikal namun bisa secara digital. Jauh tapi dekat.

Secara fisikal, terinspirasi teladan Umar bin Khatab, di Bandung dibangun tradisi, pemimpin dari wali kota sampai camat lurah untuk rutin bersilaturahmi mingguan.

Setiap minggu kami membawa makan malam untuk keluarga miskin kota. Camat dan lurah diwajibkan salat Jumat di tiap masjid berbeda dan malam minggu menonton layar tancep bersama warga.

Kami juga rutin menjadi pembina upacara tiap Senin pagi di sekolah-sekolah, membentengi moral para pelajar dengan nasehat dan tatap muka.

Di era milenial ini, warga di Bandung bisa melapor, mengeluh, dan memberi nilai rapor kinerja birokrasi melalui telepon genggamnya.

Hari ini wali kota, camat, dan lurah di Kota Bandung memiliki akun media sosial untuk menjawab pertanyaan warga, mem-posting agenda kerja, merespon keluhan harian, dan mengedukasi warga.

Setiap hari minimal ada 200-an berita harian ter-posting di semua akun digital unit kerja pemerintah Kota Bandung. Ujung dari semua ini adalah lahirnya aspek termahal dalam politik yaitu trust atau rasa percaya dari warga kepada pemerintah.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com