Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Balik Menterengnya Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi

Kompas.com - 06/10/2016, 09:34 WIB
Ahmad Faisol

Penulis

Padepokan Dimas Kanjeng kini berubah menjadi jauh lebih megah dibandingkan tahun 2009. Saat itu, akses menuju Padepokan buruk. Jalan dari Pasar Wangkal menuju Padepokan harus melalui jalan rusak dan sempit yang di samping kanan dan kirinya berupa semak belukar.

Kini, akses jalannya bagus dan sudah beraspal. Semuanya dipercantik dengan dana pribadi Dimas Kanjeng sendiri.

Lalu, pada tahun 2009, rumah Dimas Kanjeng masih berukuran kecil dengan warna dominan hijau. Kini, rumah berlantai dua itu megah dan mentereng. Tak sembarang orang bisa masuk, kecuali tamu penting dan sudah memiliki janji dengan Dimas Kanjeng.

Padepokan Dimas Kanjeng selalu ramai setiap hari oleh para santri yang berasal dari berbagai daerah, mulai Sulawesi hingga Kalimantan, mulai Jawa Barat hingga Bali. Banyak juga santri yang berasal dari luar Kabupaten Probolinggo.

handout Dimas Kanjeng Taat Pribadi saat menemui santri dalam kegiatan di padepokan.
Shalat berjemaah lima waktu rutin dilakukan di masjid Padepokan. Suara azan, wirid, hingga mengaji terlihat sehari-hari. Ibadah mereka seperti ibadah kaum Muslim kebanyakan.
Bahkan, saat hari besar keagamaan, seperti Tahun Baru Islam, Maulid Nabi, Isra’ Miraj, Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, Padepokan selalu ramai oleh kegiatan, yaitu berupa pengajian umum, istigasah, hingga pembagian santunan.

Santunan di Padepokan yang diberikan Dimas Kanjeng nilainya juga fantastis. Mencapai miliaran rupiah. Kaum duafa dan anak yatim masing-masing mendapatkan santunan Rp 100.000. Para penerima santuan mencapai 10.000 orang.

“Kami di sini hanya mengaji, wirid, berdoa, dan menggelar istigasah. Bahkan jika malam Jumat manis, kami selalu istigasah. Aktivitas kami di sini seperti kaum muslimin kebanyakan, seperti di pondok pesantrenlah,” ujar seorang santri asal Jawa Barat.

Ajaran mencurigakan

Namun, Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Probolinggo H Yasin mengatakan, ajaran di Padepokan Dimas Kanjeng ada yang terbuka dan ada yang tertutup. Ajaran yang terbuka tidak ada yang aneh, seperti istigasah, pengajian umum dengan mendatangkan kiai, dan memperingati hari besar keagamaan.

“Namun, ada ajaran yang tertutup. Ajaran yang tertutup inilah yang dicurigai. Dari laporan yang sudah sampai ke MUI, ajaran tertutup itu berupa wirid, bacaan-bacaan, mandi, dan ritual lainnya yang mengarah ke pencairan uang atau penggandaan uang,” ungkap Yasin.

Dari temuan MUI dan laporan santri, lanjut Yasin, santri Padepokan diwajibkan membayar mahar dan memperoleh dapur ATM berupa kotak dan kantong. Kotak itu sudah berisi jimat yang bisa menyedot banyak uang. Nah, sebagai ritual agar dapur ATM itu terus berisi uang, santri harus membayar mahar untuk membeli gelang, sabuk, dan kartu ATM, yang nilainya hingga jutaan rupiah.

handout Dimas Kanjeng Taat Pribadi saat meresmikan jalan desa yang dia bangun dengan dana pribadi.
“Kotak itu terlebih dulu diisi Rp 10.000. Nah, jika ingin terus bertambah, kotak tidak boleh dibuka. Dan santri harus terus membayar mahar supaya kotak itu terus bertambah uangnya. Begitu modus dan temuan kami,” katanya.

MUI juga menemukan selebaran bacaan Shalawat Fulus, yang dibaca pengikut Padepokan dalam setiap kegiatan. Shalawat Fulus, kata Yasin, adalah bacaan yang diyakini bisa mendatangkan uang gaib. 

Ajaran tertutup atau ritual pencairan itulah yang disampaikan MUI Kabupaten Probolinggo ke MUI Jatim dan akan disampaikan ke MUI Pusat. 

“Kami masih belum memvonis ajaran Padepokan. Kami sepakat untuk menyampaikan laporan ajaran Padepokan Dimas Kanjeng ke MUI Pusat pada Selasa (4/10/2016). Nanti MUI Pusat yang akan memberikan vonis atas fatwa. MUI hanya fokus pada ajaran ritual di sana,” imbuh Yasin.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com