Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Aji Chen Bromokusumo
Budayawan

Anggota DPRD Kota Tangerang Selatan Fraksi PSI dan Anggota Komisi IV DPRD Kota Tangerang Selatan

Kaki yang Terlipat

Kompas.com - 30/09/2016, 20:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Anda yang pernah nonton Huang Fei Hong dibintangi oleh Jet Lee, akan bisa membayangkan seperti apa kuncir itu. Konon menurut undang-undang waktu itu, semua cowok diwajibkan mencukur rambut bagian depan, dan memanjangkan bagian belakang.

Ini dilakukan untuk menghormati atribut suku Manchu dan sekaligus menghormati kuda, hewan yang sangat dipuja oleh suku Manchu, karena mereka bangsa nomaden. Kuncir tersebut merupakan lambang kejantanan dan kegagahan seorang pria pada masa itu.

Sementara kaki terlipat merupakan simbol status sosial, kecantikan, keanggunan dan derajat seorang wanita. Makin kecil kaki, makin cantik.

Pada masa itu seorang wanita dengan kaki “utuh” dianggap barbar, biadab dan rendahan, seperti wanita kelas pekerja, buruh, pelayan, dayang di istana, petani.

Bisa dibayangkan dengan kondisi kaki seperti itu, yang bisa dilakukan hanya duduk-duduk sepanjang hari, karena untuk jalan pun susah dan sangat menyakitkan.

Dibentuk sejak kecil

Lazimnya, seorang anak perempuan, saat berumur 3 atau 4 tahun akan “dikerjain” oleh orang tuanya. Jari-jari kaki, kecuali jempol kaki akan dilipat ke dalam dan arah telapak kaki dan diikat dengan kain kuat-kuat dengan beberapa kali bebatan.

Memang, secara kasar dan kejam, 8 jari kaki dipatahkan. Semua ini dikerjakan tanpa bius atau anestesi. Si anak biasanya meraung-raung sangat kesakitan, dan menderita selama berminggu-minggu sampai kaki yang hancur itu sembuh sendiri, tentunya dengan konstruksi tulang kaki yang sudah berubah dan rusak total.

Biasanya si anak dirawat oleh perawat (embok emban) khusus yang merendam kaki-kakinya ke dalam rendaman obat tradisional. Selama proses penyembuhan, si anak hanya bisa digendong dan ditandu ke mana pun dia pergi.

Setelah beberapa tahun, penderitaan tahap dua dimulai, kaki-kaki tersebut akan dilipat tapi kali ini untuk“mempertemukan” bagian tumit dengan bagian depan, sehingga jarak antara jempol kaki dengan tumit dibuat sekecil mungkin. Ukuran “ideal” kaki wanita pada masa itu adalah 3 inci.

Pembalutan dan pembebatan untuk menahan kaki tersebut dimulai lagi. Setelah 2 tahap itu, si anak wanita akan mencapai masa pubertas dan dianggap sempurna serta diharapkan cepat dapat jodoh.

Willow yang melambai

Sepanjang hidupnya, wanita yang dilipat kakinya ini akan menderita dan kesakitan. Untuk menjaga supaya sepasang kaki tersebut cukup kuat untuk aktivitas sehari-hari, biasanya dibebat dengan kain.

Padai malam hari, saat bebatan kain dibuka dan sepasang kaki direndam dalam air hangat, menjadi saat terbebasnya mereka dari siksaan untuk sementara, walau besoknya memulai saat-saat sakit itu lagi.

Makin kecil kaki makin indah menurut ukuran masa itu. Ungkapan yang digambarkan ketika itu adalah Dahan Willow yang Melambai, untuk menggambarkan cara berjalan para wanita itu seperti dahan pohon willow yang ditiup angin melambai. Demikianlah ukuran cantik dan sexy di masa itu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com