Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Desa Ini, Warganya Dilarang Menikah Jika Belum Lulus SMA

Kompas.com - 17/09/2016, 08:48 WIB

Untungnya, anggapan itu pelan-pelan berubah. Anak-anak kembali ke sekolah dan orang-orang yang lebih tua diikutkan program kejar paket A, B, dan C (SD hingga SMA).

Dengan menjadikan pendidikan sebagai syarat menikah, aturan ini juga mengajak anak-anak muda untuk tidak menikah di usia yang terlalu dini.

"Akan lebih baik nikah saat dewasa, kalau yang muda itu kan bisanya hanya nangis ketika anaknya nangis ya nangis semua," kata Supoyo.

Salah seorang penduduk desa, Yuharliana Eka Swastikawati yang berusia 22 tahun setuju dengan pendapat itu.

Wati begitu dia kerap disapa sudah berkomitmen dengan kekasihnya, Aji Santo, untuk menikah setelah dia lulus sarjana.

"Setelah lulus SMA, pemikiran saya itu belum matang. Saya berpikir kalau menikah sebelum SMA bagaimana? Pasti masih merepotkan orangtua," katanya.

Aji Santo (25) lulusan SMA yang kini bekerja di ladang dan menjadi pengelana kuda di Gunung Bromo mengatakan pendidikan memang penting.

"Untuk urusan wisata paling tidak supaya saya tidak dibohongi," katanya yang setiap pagi rajin mencari turis untuk menunggani kudanya ke kawah Bromo.

Dia mengatakan, warga memang patuh atas kebijakan yang diberlakukan Supoyo, bahkan setelah dia turun dari jabatan kepala desa. Aturan itu dilanjutkan oleh kepala desa selanjutnya, dan bahkan diikuti oleh desa-desa di sekitarnya.

"Kalau seandainya ada kasus hamil di luar nikah, ada hukuman, yaitu membeli semen, batu, pasir untuk membangun desa," kata Aji.

Walau tinggal di desa yang sama, Aji dan Wati tidak saling mengenal hingga dua tahun lalu ketika mereka tak sengaja berkenalan di Facebook. Setelah bertukar pesan, mereka lantas bertemu di sebuah hajatan desa.

"Pertamanya gugup," kata Aji mengikat momen itu.

"Campur aduk perasaannya," lanjutnya.

Dalam adat Tengger di Desa Ngadisari, tanggal pernikahan diatur oleh tetua adat agar tak berbenturan dengan satu sama lain. Aji yang kemudian yakin dengan pilihannya memberanikan diri melamar.

Supoyo mengatakan, praktik menikah muda di desanya memang terjadi, tetapi tak terlalu banyak.

"Dulu kalau kita biarkan bisa terjadi (tren nikah muda). Umur 15 tahun sudah ada yang menikah. Itu belum sesuai dengan undang-undang perkawinan."

"Kalau kita biarkan itu lulus SMP, kan masih 15 tahun. Makanya (syarat) kita tambah tiga tahun di SLTA agar genap dengan aturan yang ada itu."

Dalam UU No. 1/1974 tentang perkawinan disyaratkan bahwa usia minimum perempuan menikah adalah 16 tahun sementara laki-laki 19 tahun dengan izin orang tua.

Menurut badan PBB, UNICEF, pernikahan dini di Indonesia masih menjadi praktik yang diterima oleh masyarakat dan umumnya terjadi pada usia 16 hingga 17 tahun. Praktik nikah muda tercatat lebih tinggi di pedesaan dibanding di kota karena berkaitan erat dengan rendahnya pendidikan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com