Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Hamba dan Tuan dari Sumba

Kompas.com - 16/08/2016, 11:27 WIB

Akar persoalan

Rektor Universitas Wira Wacana Sumba Norlina Rambu Jola Kalunga mengatakan, keberadaan hamba dalam struktur masyarakat di Sumba, khususnya di Sumba Timur, menjadi akar dari berbagai persoalan mendasar, seperti rendahnya tingkat pendidikan, kesehatan, juga keadilan sosial.

Berdasar Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan 2013, Sumba Timur peringkat ke-408 dari 497 kabupaten/kota di 33 provinsi. IPKM Sumba Barat peringkat ke-435.

Data Badan Pusat Statistik, Indeks Pembangunan Manusia Sumba termasuk terendah di Indonesia. Tahun 2015, IPM Sumba Timur 62,54, sedangkan di Sumba Barat hanya 61,36.

"Meski ada program pendidikan dasar gratis, banyak anak putus sekolah di Sumba Timur," kata Norlina. "Banyak kalangan bangsawan tidak mau menyekolahkan hambanya. Padahal, mereka sendiri berpendidikan tinggi," tambah Norlina.

Martha Hebi dari Lembaga Solidaritas Perempuan dan Anak (Sopan) Sumba mengisahkan, ada hamba perempuan hamil dan saat diperiksa bidan desa ternyata posisi bayinya sungsang. Bidan menyarankan operasi. "Namun, perempuan itu, bahkan suaminya, tidak mau karena keputusan ada di tangan tuannya," ujarnya.

Saat ditanya dari desa mana, Martha menolak menyebutkan. "Tak bisa. Nanti petugas kesehatan itu kena tegur Bupati atau Kepala Dinas," ujar Martha.

Persoalan hamba sahaya itu memang sangat sensitif di Sumba, khususnya di Sumba Timur. Tak semua orang berani bicara terbuka. "Banyak pejabat di sini yang punya hamba. Bahkan, suami saya juga diwarisi banyak hamba dari mertua, Raja Tabundung terakhir," ujar Norlina.

Menurut dia, semua hamba di keluarganya disekolahkan. Bahkan, ada yang jadi pegawai negeri sipil. "Beberapa waktu lalu, anak rumah kami (hamba) menikah. Saya dan suami ikut duduk mendampingi di pelaminan. Ini tidak lazim di sini sehingga membuat heboh. Tetapi, kami memang ingin memberi contoh bahwa kita wajib memperlakukan anak rumah dengan baik," katanya.

Namun, nasib naas dialami dua hamba yang kami temui malam itu. Sepanjang pertemuan, keduanya beberapa kali meneteskan air mata, terutama ketika berkisah tentang masa kecil, juga nasib anak-anak.

Bagi mereka, hari demi hari yang dilalui hanyalah nestapa. "Saya pernah lari karena tidak tahan dipukuli, tetapi kemudian dijemput lagi," ujarnya.

Untuk membebaskan diri, banyak orang Sumba yang berstatus hamba meninggalkan pulau.

Malam menua saat kami mengakhiri pertemuan yang terasa sangat lama. Kami melewati halaman depan rumah keduanya, bangunan papan yang gelap gulita. Padahal, rumah tuan mereka, berjarak tak lebih dari 10 meter, terang-benderang.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Agustus 2016, di halaman 1 dengan judul "Kisah Hamba dan Tuan dari Sumba".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com