Rumah belajar yang ada saat ini, lanjut Anggi, baru digunakan kurang lebih satu tahun. Bangunan itu dipinjamkan pihak sekolah setelah ia menemui salah satu istri pejabat tinggi di provinsi dan menyampaikan niat untuk membangun rumah belajar untuk anak-anak ini.
Awalnya, pada 2013 lalu, setiap sore Anggi mengajar di teras rumah warga. Selama empat bulan, Anggia mengajar sekitar 80 anak pemulung seorang diri. Anggi pun sempat diusir oleh warga lantaran apa yang dilakukannya saat itu dinilai telah memotong jam kerja anak-anak mereka untuk bekerja mencari uang.
Anak-anak ini terpaksa ikut bekerja dan putus sekolah karena ketimpangan ekonomi dan sosial keluarga mereka, sehingga mereka terpaksa turun ke jalanan entah itu sebagai pemulung, pengemis, atau pengamen.
“Setelah diusir, saya juga sempat dituduh sebagai caleg, kebetulan pada saat musim pemilu. Saya katakan kepada mereka jika saya hanya ingin berbagi dengan adik-adik dan ingin memberikan yang bermanfaat untuk mereka,” kenang Anggi.
Anggi kemudian memikirkan cara agar ia bisa diterima dan meyakinkan kepada orangtua anak-anak arti penting pendidikan.
Beragam cara ia lakukan, mulai dari membawa aneka kue dan makanan hingga memberikan beras masing-masing satu kilogram kepada 80 orangtua anak-anak itu supaya mau mengizinkan anak-anaknya belajar.
Kegagalan pendidikan
Apa yang dilakukan Anggi terhadap anak-anak pemulung ini merupakan obat luka kegagalan pendidikan yang pernah ia alami. Lulusan SMA Taruna Bumi Khatulistiwa Pontianak ini pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Kedokteran di salah satu perguruan tinggi yang ada di Yogyakarta.
Namun, Anggi hanya mampu bertahan hingga semester empat kuliah di kampus tersebut. Ia pun memutuskan untuk berhenti dan kembali ke Pontianak tempat asalnya.
“Sempat kehilangan jati diri, malu bertemu dengan teman-teman karena merasa tidak ada apa-apanya jika dibanding teman-teman yang sedang kuliah maupun yang sudah mendapat gelar pada saat itu, padahal usianya sama,” kata Anggi.