Oleh: Gregorius Magnus Finesso
KOMPAS - Kota Lama, distrik bersejarah di Kota Semarang, Jawa Tengah, didaftarkan menjadi Situs Warisan Pusaka Dunia Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Satu jenjang menjelang status destinasi wisata global.
Suatu siang di sudut Jalan Kepodang, Kota Lama, sepasang muda-mudi bergaya mesra di antara kilatan lampu blitz kala menjalani foto pranikah di depan satu bangunan mangkrak. Terpaut belasan meter, kerumunan laki-laki berjongkok membentuk lingkaran, mengitari dua ayam jago yang tengah beradu. Mereka terbahak, kadang memekak.
Ngatiman (61), satu di antara penyabung ayam itu, mengatakan, usia arena adu ayam sudah lebih dari 50 tahun. "Mulai sekitar 1965-an. Lokasinya berpindah-pindah, tetapi masih di Kota Lama," ujarnya, Rabu (25/5).
Awalnya tempat itu adalah pasar ayam, lalu lama-lama berubah menjadi tempat adu ayam. Tentu hal ini, diakui Ngatiman, tidak lepas dari perjudian.
Bukan hanya sabung ayam, bagian selatan areal seluas 31 hektar (ha) itu juga dipenuhi bangunan liar untuk berdagang dan bermukim. Bahkan, kala malam menjadi lokasi mangkal pekerja seks komersial dan warung minuman keras.
Puluhan tahun, lorong-lorong Kota Lama kumuh. Walau dua tahun terakhir mulai banyak kafe dan ruang publik di ruas utama (Jalan Letjen Suprapto) untuk kegiatan positif, sebagian besar kawasan masih gelap dan suram.
Ini tentu jadi hambatan pariwisata. "Banyak wisatawan takut. Tidak nyaman berkeliling, terutama di kawasan kumuh. Kadang masih ada juga yang berlaku tidak sopan terhadap turis," tutur Danny Toledo (35), agen wisata yang sering membawa rombongan pelancong domestik dan asing ke Semarang.
Dirundung masalah
Jika Kota Lama menjadi Situs Warisan Pusaka UNESCO, sebagaimana target Pemkot Semarang, memang menguntungkan, terutama promosi gratis berskala internasional. Bisa dilihat potret serupa seperti Vigan di Filipina dan Penang di Malaysia yang dijejali jutaan turis asing setiap tahun. Namun, siapkah Semarang?