Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memuliakan Sampah Kerang

Kompas.com - 01/07/2016, 09:19 WIB

Oleh: Rini Kustiasih

"Senajan ingsun asale sing sungkrahe laut Cirebon, nanging ingsun pengin mulya'nang sapa bae kang gelem ngrawat ingsun."

KOMPAS - Kalimat dalam bahasa Cirebon itu kira-kira bermakna, meski semula hanya sampah laut Cirebon, si 'aku' ini akan memuliakan siapa saja yang mau merawatnya.

Kalimat itu terpampang di tengah ruang pamer Multidimensi Shellcrafts di Desa Astapada, Kecamatan Tengah Tani, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Pada kalimat itu tergambar semangat pemilik ruang pamer tersebut, Nur Handiah J Taguba.

Ibu lima anak ini sejak tahun 2000 mengolah kulit kerang dari pesisir Cirebon menjadi kerajinan yang bernilai guna dan memiliki nilai tukar tinggi. Kulit-kulit kerang yang dibuang setelah dikonsumsi oleh nelayan atau warga pesisir, oleh Nur Handiah diolah menjadi hiasan pada benda-benda fungsional ataupun berbagai kerajinan.

Kemuliaan sampah kerang itu antara lain mewujud pada aneka lampu hias. Sorot warna redup kuning keemasan mendominasi ruangan pamer usaha kerajinan ini. Lampu-lampu itu ada yang bulat menyerupai lampu taman dipercantik oleh potongan kulit kerang simping.

Kulit simping yang pipih dengan warna putih atau sedikit kemerahan itu diatur sedemikian rupa sehingga orang yang pertama kali melihat bentuk lampu tersebut tidak akan menyangka ornamen yang dilekatkan pada dinding lampu adalah sampah kulit kerang. Setelah diperhatikan dengan saksama, guratan dan tekstur pada ornamen itu yang akan menyadarkan konsumen bahwa ornamen itu benar-benar kulit kerang.

Lain lagi dengan potongan kulit kerang abalon yang bentuknya seperti kain perca dalam paduan warna biru tua, hijau lumut, dan sedikit hitam. Ketika diperhatikan sekilas, kulit kerang jenis ini bercorak mirip bulu merak. Ornamen tersebut ditempelkan pada beragam produk, seperti asbak, piring, dan nampan.

Kulit kerang ini demikian halus ketika disentuh karena kulit itu ditata terbenam di bawah lapisan resin yang berkilat. Mengamati produk-produk itu, akan terbayang begitu telaten tangan-tangan kreatif ini menggarap sampah kerang yang pada dasarnya kerap dianggap sepele. Kulit kerang itu mengubah benda-benda fungsional, seperti wadah sabun, gagang sendok, tas jinjing, wadah tisu, hingga kaleng kerupuk menjadi sebentuk seni kerajinan tangan yang indah.

Ada pula kulit kerang yang diolah menjadi ornamen pada perabotan, seperti meja, kursi, dan ranjang. Tempelan kulit kerang dan sebagian keong tersebut seolah menghidupkan rangka bangun benda-benda yang umumnya terbuat dari aluminium dan sebagian kayu. Lapisan resin yang sekaligus berfungsi sebagai perekat potongan-potongan kulit kerang juga memberi sentuhan yang mempercantik.

"Kulit-kulit kerang itu sayang sekali jika terbuang. Awalnya saya melayani ekspor kulit kerang saja ke luar negeri. Suami saya yang dari Filipina memiliki koneksi dengan jaringan pasar kerang di sana. Namun, lama-kelamaan saya tertarik untuk mengembangkan bisnis itu sendiri," ujar Nur Handiah yang suaminya, Jaime Taguba, berdarah Filipina.

Ia mulai mempelajari desain ornamen itu dari berbagai buku desain, majalah, juga dari masukan pembeli di luar negeri. "Saya juga selalu mengikuti tren soal warna atau barang apa saja yang sedang disukai di luar negeri," ujar Nur Handiah, yang lahir di Banyumas, Jawa Tengah, sekitar 50 tahun lalu.

Keragaman

Awalnya Nur Handiah hanya mencari kulit kerang dari sekitar Cirebon. Lama-kelamaan ia tertarik untuk mengembangkan suplai bahan baku dari daerah-daerah lain. Ia menemukan kerang-kerang dari berbagai belahan Nusantara yang memiliki karakter dan corak kulit yang berbeda-beda tergantung dari kondisi alamnya.

Ia pun kemudian berburu kulit kerang bersama suami hingga ke Ujung Kulon, Sulawesi Tenggara, Lampung, Aceh, dan Medan. Di tempat-tempat itu, Nur Handiah terkesima dengan kekayaan pesisir Nusantara, termasuk keragaman kulit kerang yang ditemuinya. Aneka jenis kerang dikenalnya dengan istilah lokal, mulai dari simping, darah, salju, mata tujuh, perceng, unem, onol, abalon, serta beragam kerang lainnya. "Saya pernah ke Pulau Sembilan di Aceh. Di sana kulit kerang berserakan, mulai dari tepi pantai sampai jauh ke daratan. Kulit kerang itu belum termanfaatkan dengan baik. Penduduk lokal pun memakainya untuk fondasi rumah mereka," ujarnya.

Nur Handiah bekerja sama dengan penduduk lokal untuk mengolah kulit kerang. Dibantu tokoh masyarakat setempat, ia pun pelan-pelan mengajari warga mencuci dan menyortir kulit-kulit kerang itu. Warga pun mendapatkan imbalan dari penyiapan bahan baku itu. Di Cirebon, kulit kerang itu diolah oleh lebih dari 500 pekerja di pabrik kerang milik Nur Handiah di Astapada.

"Bahan baku kami memang tidak selalu dari luar Jawa. Yang utama masih di sekitar pesisir Jawa. Kami mengambil dari sana hanya sesekali sembari membantu penduduk lokal," katanya.

Pasar ekspor

Kini ruang pamer Multidimensi Shellcrafts di Astapada ramai dikunjungi wisatawan dari dalam negeri. Kendati demikian, pembeli terbesarnya justru orang asing. Pengunjung lokal lebih banyak melihat-lihat kreasi Nur Handiah dan membawa pulang kerajinan kecil, seperti gantungan kunci, gelang, cincin, kalung, dan bunga-bungaan dari kerang.

"Beli enggak beli, saya tetap berterima kasih kepada mereka karena mau datang ke showroom. Sekarang hampir setiap hari ada rombongan wisatawan datang ke sini. Jarang yang membeli benda-benda ukuran besar. Lebih banyak yang menyukai kerajinan atau oleh-oleh kecil. Tetapi itu pun sudah lumayan. Dari mulut ke mulut usaha kerang ini mulai menarik perhatian pasar lokal," ujarnya.

Dalam sebulan, Nur Handiah bisa meraih 70.000-100.000 dollar AS. Saat pesanan ramai, ia adakalanya juga memperoleh lebih dari itu. Pesanan yang kerap ia dapatkan datang dari Spanyol, Amerika Serikat, Jepang, Eropa Barat, Kuwait, Lebanon, Uni Emirat Arab, dan Afrika Selatan. Kapasitas ekspor kerajinannya ini bisa mencapai 12-40 kontainer per tahun.

"Setiap negara punya kesenangan masing-masing. Kalau AS, suka lampu-lampu dan cermin, Kuwait khusus furniture, Lebanon vas bunga, dan Jepang benda-benda yang kecil. Banyak sedikitnya pesanan dari buyer juga tidak tentu. Setiap kali memesan, pembeli atau utusannya datang ke sini untuk memastikan kualitas barang. Semua pengerjaan, mulai dari pemotongan hingga penempelan, ada quality control," ujar nenek dua cucu ini.

Usaha Nur Handiah terus berkembang meski kadang ia juga menghadapi kendala, misalnya terkait dengan tenaga kerja. Hal itu karena menekuni pekerjaan tangan tentu membutuhkan waktu dan kesabaran.

Namun, semangat Nur Handiah untuk berkarya terus berkobar. "Saya belajar dari ibu saya yang siang dan malam berjuang membesarkan delapan anaknya sejak Bapak meninggal. Pengalaman hidup pada masa kecil mengajari saya untuk tidak mudah menyerah," ujarnya.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Juni 2016, di halaman 19 dengan judul "Memuliakan Sampah Kerang".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com