Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Toleransi Mengalun di Desa Balun

Kompas.com - 28/06/2016, 08:30 WIB

Bersama-sama

Tak sebatas saat menjalankan ibadah, saat hari raya keagamaan setiap agama tiba, umat merayakannya bersama-sama. Bahkan umat bergotong royong, menyiapkannya bersama-sama.

Kepala Desa Balun Khusyairi menceritakan, setiap perayaan Lebaran atau malam takbiran, umat Kristen dan Hindu paling sibuk memastikan agar perayaan berjalan lancar. Mereka rela menjaga parkir kendaraan, memastikan keamanan saat takbiran keliling, hingga mengarahkan lokasi jemaah shalat Id.

Hal yang sama terjadi saat Natal. Demikian pula saat umat Hindu merayakan Nyepi, giliran umat Islam dan Kristen membantu umat Hindu membuat ogoh-ogoh, dan bersama-sama mengaraknya keliling kampung.

"Warga justru meminta arak-arakan keliling seluruh jalan desa. Kalau ada jalan desa yang tidak dilewati, warga bisa marah. Arak-arakan ogoh-ogoh memang sudah menjadi perayaan bersama semua warga. Tidak melihat lagi latar belakang agama warga," ujar Khusyairi.

Balun terdiri atas sekitar 4.600 warga. Mayoritas atau sekitar 75 persen di antaranya beragama Islam, 18 persen beragama Kristen, dan 7 persen beragama Hindu.

Menurut Ketua GKJW Jemaat Balun, Sutrisno (48), toleransi bisa hidup dan dijunjung tinggi oleh warga karena antara satu penganut agama dan lainnya terikat tali kekerabatan.

Suwito menjadi saksi hidup indahnya toleransi di keluarganya yang berbeda agama. Dia menceritakan, kakak kandungnya beragama Kristen, tetapi saat masa puasa, justru kakaknya yang paling sering mengingatkannya berpuasa.

"Kakak saya yang justru membangunkan saya saat sahur. Dia pula yang menyiapkan hidangan setiap sahur dan berbuka puasa. Saya pun tak pernah canggung saat menawarkan diri untuk mengantar-jemput keluarga mereka ke gereja, setiap hari Minggu," ujarnya.

Tak hanya bersaudara dengan umat Kristen, Suwito juga bersaudara dengan Ngaridjo.

"Bagaimana mau ribut kalau semua masalah bisa diselesaikan secara keluarga?" ungkapnya.

Harmoni kehidupan antar- umat beragama di Balun ini yang kemudian membuat desa berjarak sekitar 50 kilometer sebelah barat Surabaya itu diberi julukan "Desa Pancasila". Tak lain karena nilai-nilai Pancasila tidak sebatas slogan di desa itu.

Namun, bukan berarti harmoni kehidupan itu berjalan mulus terus tanpa rintangan. Khusyairi mengatakan, tidak jarang harmoni kehidupan itu diuji.

Salah paham antarpemuda beda agama tak jarang menjadi pemicunya. Beberapa kali pula orang dari luar Balun masuk ke Balun, berusaha untuk mengajarkan nilai-nilai agama yang jauh dari nilai toleransi. Namun, semua ujian itu bisa dilalui. Harmoni pun tetap lestari hingga kini. (ANGGER PUTRANTO)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Juni 2016, di halaman 1 dengan judul "Toleransi Mengalun di Desa Balun".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com