Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Duit "Plastik" di Kantin Sampah Milik Sarimin

Kompas.com - 21/06/2016, 03:09 WIB

Oleh: Gregorius Magnus Finesso

KOMPAS - Gema azan magrib tanda buka puasa terdengar sayup di tengah lautan sampah di Tempat Pembuangan Akhir Jatibarang, Semarang, Rabu (8/6/2016) sore. Menjinjing sebundel besar sampah plastik, Andi (16) bergegas menuju warung kecil di sudut kompleks TPA. Sampah itu untuk membeli menu buka puasa idaman, mangut lele.

"Iki entuke limolas ewu, sisan enggo mbayar wingi, yo Le. Kono, maeme njupuk karo ibune (Ini dapatnya lima belas ribu ya, sekalian untuk melunasi yang kemarin. Makannya ambil sama ibu)," kata Sarimin (55) seusai menimbang sampah plastik yang dibawa Andi.

Masuk ke dalam warung berukuran sekitar 4 meter x 7 meter itu, Andi mesti berjejalan dengan belasan pemulung lain yang lebih dulu makan. Suyatmi (44), istri Sarimin, langsung mengambilkan sepiring penuh nasi, sayur lodeh, dengan lauk mangut lele.

Bau keringat campur sampah lebur dalam kebersahajaan mereka. Setelah mengucap syukur dan meneguk es teh untuk membatalkan puasa, Andi langsung melahap makanannya.

"Enak makan di sini. Belinya enggak perlu pakai duit, tetapi pakai plastik," ucap Andi, pemuda asal Boyolali, Jawa Tengah, sambil melahap makanannya. Ia baru setahun terakhir menjadi pemulung.

"Bisa ngebon juga. Nanti mbayarnya kalau dapat banyak plastik. Malah kalau dapatnya lebih banyak bisa disimpan untuk makan lagi," timpal Wahyudi (21), pemulung lain asal Kendal.

Warung sederhana berdinding tripleks dengan atap asbes dan lantai tanpa plester itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan warung-warung lain di kompleks TPA Jatibarang. Hanya tampak depannya yang mencolok karena terpampang sebuah spanduk merah menyala bertuliskan: Kantin Gas Methan.

Kantin milik Sarimin dan Suyatmi ini memang menggunakan bahan bakar gas metan hasil instalasi pengolahan Unit Pelaksana Teknis TPA Jatibarang, yang telah beroperasi lebih dari dua tahun. Gas metana yang keluar dari timbunan sampah dialirkan melalui pipa ke instalasi, lalu disalurkan ke seratusan rumah di sekitar TPA. Salah satunya ke warung milik Mbah Min, sapaan akrab Sarimin.

Sampah plastik

Untuk transaksi, pembeli yang umumnya pemulung tidak perlu memakai uang kartal. Mereka cukup menukar dengan sampah plastik. Satu kilogram plastik warna hitam dihargai Rp 400. Adapun yang warna-warni bisa Rp 700. Satu bundel bungkus plastik biasanya berkisar 15 kg-20 kg. Jika dinominalkan, nilainya Rp 7.000-Rp 8.000.

Sarimin menuturkan, ide menggunakan plastik sebagai alat transaksi berawal dari seringnya pemulung mengutang di warungnya karena tidak punya uang tunai. Sebagai bekas pemulung, Sarimin mafhum uang tunai tidak tiap hari bisa mereka kantongi. Tak setiap hari pemulung bisa menjual hasil memungut sampah, terutama plastik. Para pengepul biasanya meminta pemulung mengumpulkan sampah bungkus plastik hingga minimal 2 kuintal-3 kuintal untuk kemudian diuangkan.

Sampah seberat itu biasanya dikumpulkan sekitar tiga hari. "Dari situ saya mikir, mereka sering utang karena sampah yang dikumpulkan belum menghasilkan uang. Saya berpikir mungkin enggak kalau bayarnya pakai sampah saja," ucap Sarimin, bekas petani asal Kabupaten Rembang yang sudah lebih dari setahun menjadi pemulung.

Hal itu lalu disampaikan kepada Kepala UPT TPA Jatibarang Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Semarang Agus Junaidi. Gayung bersambut, Agus mendukung rencana itu. Sebab, sebenarnya UPTD Jatibarang memiliki pekerjaan rumah mengurangi beban sampah plastik yang sulit terurai.

Persentase sampah plastik di TPA Jatibarang selama ini mencapai 16 persen dari total limbah sampah yang dibuang ke lokasi tersebut sekitar 700 ton per hari. "Kami ingin mengurangi beban sampah plastik karena sulit terurai. Selain itu, sampah plastik mudah terbang dan terbawa angin hingga mengotori sungai di dekat TPA," ujarnya.

Ia lalu menyarankan Sarimin dan Suyatmi membuat kantin dengan sampah plastik sebagai alat transaksi. Untuk menopang kebutuhan bahan bakar memasak di kantin, gas metana dan kompor khusus pun disuplai untuk mereka.

TPA Jatibatang, satu-satunya tempat pembuangan sampah akhir di Kota Semarang, menjadi lokasi mencari nafkah bagi 400-an pemulung. Ada empat warung di dalam kompleks, tetapi yang menerapkan sistem pembayaran plastik dan memakai gas metana untuk bahan bakar baru warung milik Sarimin.

Tidak ada masalah

Gas metana (CH4), lanjut Agus, muncul dari sampah aktif yang tertimbun di TPA Jatibarang. Gas itu ditangkap dengan pipa-pipa yang ditanam di sembilan titik dengan kedalaman 5 meter-6 meter ke sebuah instalasi.

Selanjutnya, gas berkapasitas 80 meter kubik itu didorong dengan blower ke 100 rumah warga sekitar TPA, termasuk ke kantin Sarimin. Setiap 1 meter kubik (m3) gas metana setara dengan energi yang dihasilkan 0,48 kilogram elpiji.

"Instalasinya kami bangun 2014. Tepat setelah terjadi ledakan besar akibat penumpukan gas metana di tempat ini," kenang Agus.

Suyatmi mengaku tidak ada masalah selama menggunakan gas metana untuk kebutuhan memasak sehari-hari.

"Apinya biru, tidak mengotori perabotan. Sama sekali tidak bau. Masak pun cepat matang," ucap ibu dua anak itu.

Sarimin bersyukur mendapat dukungan dari pihak UPT TPA Jatibarang. Sejak membuka Kantin Gas Methan pada Januari 2016, usahanya kian membaik. Dulu, sebelum punya warung, dalam sebulan mereka menghasilkan Rp 2 juta, tetapi harus dipotong biaya makan Rp 500.000 dan tabungan Rp 1 juta.

Setelah membuka warung, mereka bisa menghasilkan Rp 1,5 juta bersih setiap bulannya. Pendapatan itu diperoleh dari hasil membuka warung dan menjual plastik dari pemulung.

Sampah plastik itu dijual Sarimin kepada pengepul langganannya. Untuk 1 kilogram, Sarimin mengambil untung Rp 100. Dalam sebulan, dia bisa mengumpulkan sampah minimal 60 kuintal-100 kuintal.

Pemberdayaan warga

Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi yang menyempatkan diri makan di kantin Sarimin mengaku salut dengan inovasi tersebut.

"Ada pemberdayaan warga melalui sampah plastik. Bisa menggeliatkan ekonomi, sekaligus upaya pelestarian lingkungan," kata Hendrar.

Hendrar pun meminta dinas kebersihan dan pertamanan setempat untuk menduplikasi model serupa ke sejumlah titik pembuangan sampah yang ada di Semarang.

Ia juga menginstruksikan dinas tersebut membentuk model usaha kecil yang dapat memanfaatkan sampah plastik menjadi barang bernilai. Tujuannya untuk mengurangi limbah plastik dalam skala masif.

Rencana ke depan, ungkap Agus Junaidi, pihaknya ingin menerapkan sistem transaksi plastik itu ke tiga warung lain di kompleks TPA. Ia juga bakal memperluas jangkauan gas metana ke 150 rumah lain di sekitar TPA, termasuk warung-warung makan lain.

Pengelola TPA Jatibarang Semarang membuktikan, pembaruan bisa muncul dari mana saja. Termasuk di antara bau tidak sedap lautan sampah dan sosok-sosok marjinal seperti Sarimin dan Suyatmi.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Juni 2016, di halaman 24 dengan judul "Duit 'Plastik' di Kantin Sampah Milik Sarimin".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com