Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nasib Sekolah Terpencil, Siswa 6 Kelas Belajar dalam Satu Ruangan

Kompas.com - 02/05/2016, 09:56 WIB
Junaedi

Penulis

POLEWALI MANDAR, KOMPAS.com - Meski bangsa ini telah merdeka lebih dari 70 tahun, namun kesenjangan di berbagai bidang, termasuk dunia pendidian hingga kini masih memiriskan hati.

Di Polewali Mandar, Sulawesi Barat, misalnya, siswa di enam kelas di sebuah sekolah terpencil terpaksa harus belajar satu ruangan kelas berukuran 6x5 meter secara bergantian.

Hari masih pagi, namun puluhan siswa terpencil di Dusun Makula, Desa Kalimbua, sekitar enam kilometer dari ibu kota Kecamatan Tapango, Polewali Mandar, sudah harus bergegas ke sekolah, Jumat (29/4/2016) pekan lalu.

Para siswa yang tampak lugu ini berusaha tiba di sekolah sebelum guru mereka datang atau jam pelajaran di mulai pukul 7.30 Wita. Seperti biasanya, sebelum memasuki kelas, para siswa harus berbaris rapi di depan kelas.

Di sekolah Madrasah Ibtidaiyah Makula, para siswa diwajibkan memeriksakan kuku dan rambut setiap hari Jumat. Kegiatan ini dimaksudkan untuk membiasakan mereka memelihara kebersihan, termasuk kebersihan diri sendiri agar para siswa terbebas dari segala penyakit.

Berbeda di sekolah lain, di MI Makula, siswa dari enam kelas yang terdiri dari kelas I, II, III hingga kelas VI ini harus belajar dalam satu ruang kelas.

Sebelum menempati gedung sekolah yang mirip gudang pupuk, yang dibangun warga secara swadaya ini, para siswa belajar menumpang di salah satu rumah warga.

Agar para siswa bisa belajar memenuhi target kurikulum pendidikan nasional, guru di sekolah ini menyiasati keadaan dengan cara bergiliran belajar.

Saat guru memberi materi pelajaran kelas I atau kelas II, siswa kelas III, IV, V dan VI diberi tugas menyalin atau tugas apa saja agar bisa fokus dan tidak saling mengganggu dengan siswa kelas lain yang sedang belajar.

Demikian sebaliknya, saat kelas V atau kelas VI mendapat giliran belajar, siswa di kelas I hingga kelas IV bekerja menyelesaikan materi latihan.

Karena alasan kelelahan mengajar enam mata pelajaran dalam satu hari dari pagi hingga siang hari, guru di sekolah ini kerap menyamakan pelajaran kelas I dan II, kelas III dengan kelas IV dan kelas V dengan kelas VI.

Berbagai metode dilakukan guru termasuk menggilir siswa masuk di kelas dan kelas lainnya diperkenankan beristirahat atau keluar bermain saat kelas lain sedang belajar.

Nurasia, siswa kelas V MI Makula mengaku tak nyaman belajar sambil bergabung dengan siswa enam kelas berbeda. Namun karena tidak ada pilihan, Nurasia mengaku pasrah saja dan menerima keadaan kondisi sekolah yang serba terbelakang dan miskin sarana.

“Tidak bisa belajar dengan baik dan kadang saling mengganggu karena enam kelas harus belajar dalam satu ruangan yang sama,” ujar Nurasia.

Seperti siswa lainnya, Nurasia sebenarnya bermimpi bisa sekolah seperti anak-anak di sekolah lain yang bisa menikmati berbagai fasilitas pendidikan, termasuk ruangan yang memadai dan buku-buku pelajaran yang lengkap.

Namun karena harus bepergian ke kota yang ditempuh dengan berjalan kaki hingga 6 kilometer ke kota kecamatan, Nurasia terpaksa mengubur mimpinya bersekolah di tempat yang layak.

 

Di malam hari, Nurasia belajar menggunakan lampu pelita dari minyak tanah. Di desanya tak ada listrik PLN, warga hanya menggunakan mesin genset yang tentu saja dengan biaya besar. Itu pun hanya satu atau dua warga yang memiliki mesin genset.

Jangankan bisa menikmati menikmati fasilitas internet untuk meningkatkan pengetahuan dan SDM-nya, menikmati perabotan seperti kulkas dan televisi saja bisa dihitung dengan jari.

Mata pelajaran sama

Hariani, salah satu guru Nurasia, mengaku pasrah dengan kondisi sekolahnya yang sangat minim sarana. Idealnya, setiap kelas memiliki ruang masing-masing dan diajarkan oleh guru yang berbeda.

Namun karena kondisi keterbatasan ruang dan fasilitas lain, para siswa dari enam kelas berbeda ini belajar dalam satu ruangan yang sama.

“Idealnya punya enam kelas dna siswa belajar di masing-masing kelas dan mendapat pelajaran dari guru yang berbeda, tapi karena situasinya seperti ini ya mau apa lagi," kata Hariani.

Kondisi seperti ini, lanjut dia, membuat belajar dan mengajar tidak efektif karena perhatian siswa kerap terpencar.

Selain itu, guru tidak bisa maksimal mengajar lantaran terlalu banyak mata pelajaran dan kelas yang harus dihadapi pada waktu yang bersamaan. Namun karena tak ada alternatif lain, Hariani hanya menjalani saja apa adanya.

Wakil Kepala MI Makula, Supriadi menjelaskan, kondisi sekolah seperti ini sudah berlangsung hampir 10 tahun. Enam kelas siswa digabung dalam satu kelas. Mereka diberi pelajaran yang sama dari kelas satu, dua hingga kelas enam.

Menurut Supriyadi, salah satu kendala hingga sekolah di desa ini belum bisa berdiri secara permanen dan mendapatkan dana BOS, termasuk guru yang cukup secara rutin, karena jumlah siswa di MI belum mencapai 40 orang setiap tahun.

“Meski kondisi belajar apa adanya di sekolah darurat seperti ini, intinya para siswa bisa belajar apa saja dan bisa pulang membawa pengetahuan baru atau pengalaman baru dari sekolahnya,” ujar Supriyadi.

 

Meski serba-terbatas, Suporiyadi mengaku bangga dengan semangat belajar para siswa. Kondisi sekolah yang terbelakang seperti ini tidak mengendurkan semangat para siswa datang ke sekolah.

Rata-rata siswa sudah berada di sekolah sebelum guru mereka tiba atau jam pelajaran dimulai, agar mereka bisa mengikuti seluruh mata pelajaran yang diberikan gurunya.

Supriyadi juga mengapresiasi para orangtua dan masyarakat terpencil di Desa Makula yang tetap bersemangat memberi dorongan positif pada anak-anak mereka agar tetap bersekolah meski kondisinya sangat terbatas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com