Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sepenggal Kisah TKI dari Balik Shelter di Kuching (Bagian 1)

Kompas.com - 18/04/2016, 09:50 WIB
Kontributor Pontianak, Yohanes Kurnia Irawan

Penulis

KUCHING, KOMPAS.com - Raut wajah polos berbalut kesedihan terlihat jelas di wajah Supriana. Gadis berusia 22 tahun ini menceritakan kisah sembilan tahun bekerja tanpa digaji sebagai pembantu rumah tangga di rumah majikannya di negeri Jiran, Malaysia.  

Matahari belum terlihat karena terhalang mendung pada Minggu pagi pekan kedua April 2016 yang lalu. Padahal, waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 pagi waktu setempat.

Ina, sapaan akrabnya terlihat baru saja membersihkan halaman shelter/penampungan milik Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) yang berada di kawasan Batu Tiga, Kuching, Sarawak.   

Dalam penampungan yang disediakan khusus oleh KJRI untuk menampung TKI tersebut, Ina tinggal bersama sembilan TKI lainnya, ditambah seorang ibu pengurus shelter yang biasa disebut ibu asrama.  

Sembilan tahun yang lalu, saat usianya menginjak 13 tahun, Ina memulai kisah perantauannya di negara bermata uang ringgit tersebut melalui jalur darat tak resmi di Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat.

Saat itu, Ina berniat mengikuti jejak sang kakak yang sudah terlebih dahulu mendulang ringgit di wilayah Serikin, Sarawak.   “Waktu itu saya masih kelas enam Sekolah Dasar, empat bulan lagi mau ujian kelulusan,” kata Ina memulai kisahnya, Minggu (10/4/2016).  

Sebelum berangkat menuju Malaysia, Ina dijanjikan agen penyalur yang membawanya akan mengurus semua dokumen yang dibutuhkan, termasuk paspor dan perizinan. Dengan pertimbangan memperbaiki perekonomian keluarga, apalagi tergiur dengan upah yang menjanjikan, Ina pun berangkat meninggalkan kampung halamannya di daerah SP 1 Malayang, Kecamatan Sanggau Ledo, Kabupaten Bengkayang.  

“Saya dijanjikan tiga tahun sama agen untuk dibuatkan paspor, tapi sampai sekarang tidak pernah ada,” katanya.  

Sejak saat itu, Ina pun menyandang status pekerja migran di salah satu majikan, warga negara Malaysia.

Pada awal masa kerja nya, Ina mengaku dijanjikan upah sebesar RM 200 atau sekitar Rp 600.000 per bulan oleh sang agen. Namun, sejak bulan pertama bekerja, upah yang dinantikan tak kunjung didapatkannya.  

Bulan silih berganti, hingga tepat setahun bekerja, Ina pun sempat terpikir hendak kabur meninggalkan sang majikan. Niat itu kandas, lantaran saat itu dia merasa masih terlalu kecil dari segi usia, ditambah lagi dia sedang berada di tempat yang tak seorang pun dikenalnya.  

“Sempat ingin kabur waktu itu, tapi saya masih kecil dan tidak kenal sama siapa pun waktu itu,” cerita Ina.  

Sebagai pembantu rumah tangga, pekerjaan sehari-harinya tak terlepas dari memasak, mencuci, dan membersihkan rumah hingga halaman. Meski tak mendapatkan upah layaknya seorang pekerja, semua kebutuhan pribadi seperti pakaian, sabun, dan lainnya disiapkan oleh sang majikan.

Majikan itu pun, diakuinya tidak pernah kasar, apalagi sampai memukul dirinya.  

"Majikan memang baik, ndak pernah main pukul. Tapi ndak pernah bayar gaji saya. Kalau kita minta belikan barang dia belikan, tapi ndak tau apakah itu dia potong gaji atau ndak," kata Ina sembari sedikit terisak.  

Tak hanya bekerja tanpa mendapatkan imbalan, sejak merantau, Ina sekali pun tak pernah saling berkabar dengan keluarganya di kampung. Bahkan, hingga pelariannya saat ini pun, kabar keluarganya tak pernah diketahuinya.

Dua alasan itulah yang semakin membulatkan tekadnya untuk kabur.   “Ya kangen sama keluarga, dari berangkat sampai sekarang belum pernah dengar kabar,” ucap dia. 

Puncaknya, Ina kemudian diam-diam pergi meninggalkan rumah majikannya, menuju kantor Konsulat di Kuching. Pelarian tersebut direncanakannya hanya dalam waktu tiga hari, dan dilakukan di saat suasana rumah sedang sepi.

Sebulan terakhir, Ina pun menjadi penghuni shelter, sembari menanti tuntutan pembayaran gaji nya diurus pihak konsulat.  

Perasaan marah dan kesal ditumpahkan Ina saat bercerita. Sesekali dia menyeka air mata yang berlinang dipipinya. Suaranya pun terkadang terasa berat. Dalam benaknya saat ini, Ina hanya berpikir ingin segera pulang ke Indonesia.  

“Sekarang saya tidak penting mau dibayarkan berapa gaji saya, yang penting dibayar. Pokoknya saya ingin segera pulang dan berkumpul dengan keluarga,” kata Ina mengakhiri ceritanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com