Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Warga Kota Berevolusi

Kompas.com - 01/04/2016, 16:15 WIB

Oleh: Dahlia Irawati

MALANG, KOMPAS.com - Jumat (1/4/2016) ini, Kota Malang, Jawa Timur, genap berusia 102 tahun. Kali ini, suasana lebih semarak karena selama sepekan ini Kota Malang menjadi tuan rumah penyelenggaraan Indonesia Creative Cities Conference 2016 yang dihadiri wali kota dari seluruh Nusantara, juga dari Korea, Thailand, Singapura, dan Malaysia.

Dalam tiga tahun terakhir, Kota Malang seolah berevolusi. Banyak perubahan dirasakan sekitar 800.000 jiwa warga, termasuk bidang lingkungan. Wali Kota Malang Mochamad Anton terus mengajak warga menata dan menjaga lingkungan, serta membuat program Gerakan Menabung Air (Gemar). Melalui Gemar, warga diajak membuat biopori sehingga bisa "menabung" air saat musim hujan dan tidak kekurangan air saat musim kemarau.

Kampung Glitung menjadi pioner program Gemar. Awalnya, pada Februari 2013, wilayah ini diterjang banjir besar. Ketinggian air dalam rumah warga hingga 40 sentimeter. Jalan kampung yang posisinya rendah tidak bisa dilewati karena ketinggian air mencapai 1 meter. Solusi paling tepat ketika itu, kata Bambang Irianto (58), Ketua RW 023 Kampung Glintung, menerapkan sistem biopori.

Biopori dibuat dengan melubangi tanah dan menanam pipa sedalam 1 meter untuk menyimpan air. Pipa bisa dibuka-tutup sehingga memungkinkan sampah organik, seperti daun, masuk ke lubang resapan. Sampah organik dalam lubang resapan akan berproses menjadi kompos setengah jadi, dan biota tanah atau serangga bisa hidup di dalamnya. Aktivitas biota dalam tanah menjadikan fungsi resapan air maksimal.

Dari semula hanya satu biopori, terus bertambah dan kini sudah ada 503 biopori di RW 023, Glintung, 4 sumur injeksi, 4 sumur resapan, dan bak kontrol resapan. Sumur injeksi merupakan donasi dari lembaga.

Dua tahun setelah banjir besar 2013, kini RW 023 sudah bebas banjir. Bahkan, sumur warga tidak lagi kering saat kemarau. Warga juga sudah bisa rutin memanen kompos dan sayuran organik.

5 ton kompos

Kompos didapat dari olahan sampah organik yang dibuang warga ke dalam biopori. Hasil dari setiap lubang 10 kilogram (kg) kompos. Dengan total 503 lubang biopori, setiap akhir kemarau warga mendapatkan kompos 5 ton. Kompos diolah lalu dijual Rp 2.000 per kg. Sebagian kompos digunakan sendiri oleh warga untuk menyuburkan tanaman sayur, buah, dan bunga di rumahnya. Dari awalnya hanya sebatang tanaman di depan rumah, kini aneka bunga, buah, dan sayur mudah dijumpai di setiap rumah warga.

Bermula dari biopori, Kampung Glintung, tepatnya RW 023, kini berkembang menjadi kampung wisata. Keberhasilan kampung itu menabung air-mencegah banjir dan kekeringan-membuat warga dari kampung lain, lembaga, wisatawan lokal dan bahkan wisatawan mancanegara, datang belajar biopori dan membangun kampung hijau ke Glintung.

Sekarang, hampir semua sudut Kampung Glintung bisa menjadi daya tarik wisatawan, mulai dari taman vertikal, hidroponik, hingga peraturan kampung. Rombongan wisatawan yang pergi ke Glintung, terutama untuk menimba ilmu, dikenai tiket masuk Rp 500.000.

Saat rombongan keliling kampung berjalan kaki, warga menjajakan makanan dan aneka minuman produksi sendiri sehingga ekonomi pun terdongkrak. Glintung pun berubah menjadi kampung wisata hijau. Dari kas RW Rp 0, kini melejit menjadi Rp 796 juta.

Mendatangi warga

Kreativitas lain warga adalah menata lingkungan sekaligus meningkatkan kesejahteraan. Anton pun rutin mengunjungi warga di kelurahan untuk mengetahui persoalan yang dihadapi warga sekaligus mencari solusi. Berbagai masalah, antara lain jalan rusak, pengangguran, kemiskinan, rumah tak layak huni, ataupun anak putus sekolah, bisa segera dicarikan solusi. Ini karena dalam menyelesaikan permasalahan warga, Pemkot Malang menggandeng akademisi dan pengusaha.

Di bidang investasi, indeks Kota Malang sebesar 77,32 dan berada di atas indeks nasional 73,55. Pada kategori pelayanan publik, kota ini juga mendapatkan indeks tertinggi untuk Jawa. Sementara untuk pelayanan dasar tingkat kelurahan, Kota Malang berturut-turut 2014 dan 2015 meraih penghargaan terbaik tingkat nasional.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com