Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Opung Theo, Aktivis Perempuan Batak yang Hidup di Enam Masa

Kompas.com - 08/03/2016, 19:00 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha

Penulis

Dulu sewaktu di Tarutung, dia tidak melihat kekejaman ini karena pertemanannya dengan teman-teman Jerman dan Belanda masuk kelas sosial atas.

"Di depan rumah ada tulisan, dilarang masuk orang Indonesia dan anjing. Duluan orang Indonesia, baru anjing. Sesudah saya baca kerja paksa di Jawa, gaji kuli-kuli cuma 2,5 sen per minggu, baru saya tahu, kok kayak gini kami?" ucapnya dengan raut sedih.

Mungkin ini yang membangkitkan rasa nasionalismenya bangkit. Tio ingin melawan Belanda melalui jalur pendidikan.

Selepas mengenyam pendidikan di Malang, Tio langsung pulang ke Tarutung. Dia langsung mengajar di Sekolah Kepandaian Putri milik Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Balige selama dua tahun.

Jumlah muridnya tak sampai 20 orang berasal dari luar Kota Tarutung, semua tinggal di asrama.

Pada 1944, Tio menikah dengan Mannius Lumbantobing yang berprofesi sebagai guru, mereka dikarunia sembilan orang anak.

Tio menghabiskan waktu dengan membesarkan anak-anaknya tanpa pembantu, aktivitas mengajar sejenak berhenti atau dilakukan di rumahnya.

Apalagi saat suami ikut pendidikan guru oleh Jepang di Padang Panjang, dia pindah ke Balige dan tinggal bersama mertua.

Dua bulan sepulang suami dari Padang Panjang, mereka kembali ke Tarutung karena almarhum Mannius ditempatkan di kantor Pendidikan Masyarakat kemudian menjadi Direktur Sekolah Guru Bawah Sigompulon hingga pensiun.

Terbitkan majalah

Pada tahun-tahun ini pula, Tio selalu bersama dengan kakak kandungnya, Julia Hutabarat yang sejak di Solo sudah aktif di dunia pergerakan perempuan.

Julia adalah ibu kandung Ratna Sarumpaet. Dialah pendiri Persatuan Wanita Kristen Indonesia (PWKI) Tapanuli. Ajakan Julia benar-benar ampuh, Tio akhirnya terdaftar sebagai anggota, lalu pada 1953 sampai 1957 menjadi pucuk pimpinan PWKI.

Pada masa kepemimpinan Julia, PWKI tahun 1954 melahirkan Majalah Melati berbahasa Batak Toba dan sedikit bahasa Indonesia yang menjadi alat pergerakan hingga ke kampung-kampung.

Tujuan penerbitan majalah itu untuk mencerdaskan kaum perempuan Batak dan sebagai pendidikan awal baca tulis, sehingga perempuan-perempuan Batak menjadi melati di keluarganya.

"Dulu satu majalah dibaca banyak orang, jadi belinya satu saja, anak-anak yang membacakan. Juga sebagai bukti dan pemberitahuan kepada anggota PWKI yang tidak bisa datang rapat atau konferensi-koferensi," katanya sambil menunjukkan majalah penuh kenangannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com