Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mitos Gerhana Matahari Menurut Suku Dayak Wehea

Kompas.com - 05/03/2016, 09:51 WIB
Dani Julius Zebua

Penulis


Lama berpikir, Weluen kembali bertanya untuk kedua kali. Demi menghormati perintah sang suami dan keberadaan para Emta, Weluen tetap di pondok dan bertanya dari jauh.

“Apa lauk bagi sayur yang kita makan siang ini?” tanya Weluen. Ia mengeraskan suaranya.

“Sudah kukatakan. Ikan di atas kayu di samping pondok. Potonglah sebagai lauk bagi sayur kita hari ini,” kata Dea Pey juga dengan suara lebih keras.

Weluen semakin dibikin bingung atas jawaban itu. Dalam pendengaran Weluen, Dea memang mengatakan potonglah putri semata wayang mereka untuk lauk hari itu.

Kali ketiga, Weluen mencoba memastikan kembali.

“Saya semakin bingung mencari lauk dan sayur untuk makan siang, sementara waktu semakin tengah hari. Apa lauk bagi sayur yang kita makan siang ini?” tanya Weluen.

Dea Pey sengit. Lantang ia bersuara. “Kami sudah lelah. Semua orang sudah mulai lapar. Ikan di atas kayu di samping pondok. Potonglah itu sebagai lauk bagi sayur kita hari ini. Cari apa lagi kamu, ikan itu sudah cukup besar, ” kata Dea Pey.

Weluen mengartikan, anak kita sudah cukup besar, potonglah dia untuk makan siang. Weluen kini yakin. Ia melakukan seperti "perintah" Dea Pey. Seusai memasak, tulang belulang putri mereka diletakkan rapi di pinggir dapur.

Makanan tersedia. Hidangan bagi para Emta, yang juga adalah nabi, jadi terasa istimewa.

Pondok mereka kecil. Para Emta pun antre untuk makan. Separuh dari mereka makan lebih dulu, sisanya menanti di luar pondok.

Dea Pey termasuk yang makan lebih dulu lantas memuji Weluen atas masakan itu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com