Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dusun Patoman Tengah, "Bali" Kecil di Kabupaten Banyuwangi

Kompas.com - 02/03/2016, 13:12 WIB
Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati

Penulis

BANYUWANGI, KOMPAS.com - Tiga pemuda terlihat sibuk memotong bambu, sedangkan dua orang lain menghias ogoh-ogoh di sebuah dusun yang dilengkapi dengan tempat persembayangan umat Hindu.

Mereka bercakap-cakap dengan bahasa Bali. Aksen mereka pun sangat kental seperti penduduk Pulau Dewata.

Mereka adalah warga Dusun Patoman Tengah, Desa Patoman, Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Saat ini, sebagian warga di sana tengah disibukkan dengan membuat ogoh-ogoh untuk perayaan hari raya Nyepi pada Rabu (9/3/2016) pekan depan.

"Di sini bahasa ibunya adalah bahasa Bali, tapi kami semua bisa menggunakan bahasa Jawa, bahasa Madura, bahkan bahasa Using yang asli Banyuwangi," kata tetua dusun I Gusti Putu Sudana kepada Kompas.com, Rabu (2/3/2016).

Bukan hanya bahasa, semua tatanan rumah, adat, budaya yang digunakan di desa tersebut menyerupai yang ada di Bali.

Lelaki kelahiran 20 Februari 1963 tersebut menuturkan bahwa warga dusun Patoman berasal dari delapan kota atau kabupaten di Pulau Bali.

Pada tahun 1950-an, banyak warga Bali yang pindah ke Banyuwangi karena tradisi keselong atau pengasingan karena menikah dengan kasta berbeda.

"Ini dulu ya saya dapat cerita dari orang-orang tua. Kita mengenal empat kasta, yaitu Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Karena menikah tidak satu kasta, maka mereka diasingkan dan berpindah ke Banyuwangi," ujarnya.

Mereka kemudian membentuk kampung Bali di tengah Kota Banyuwangi. Karena jumlah mereka semakin banyak, sebagian di antaranya mencari tanah yang lebih luas di sekitar kota. Salah satunya adalah Dusun Patoman Tengah, Desa Patoman.

Mereka kemudian menata kampung persis dengan tatanan leluhur mereka di Pulau Dewata, termasuk penataan tempat persembayangan. Kampung itu juga memiliki kayangan tigo yang terdiri dari Pura Puseh, Pura Desa, dan Pura Dalam seperti di Bali.

"Kami juga mengadakan Ngaben setiap 4 tahun sekali termasuk juga upacara upacara adat lain. Termasuk juga susunan pemerintahan mulai dari parisada, klian adat serta pemangku," kata Sudana.

Saat ini, satu kampung di Patoman Tengah memiliki 230 kepala keluarga. Sebagian penduduk itu bekerja di Bali. Namun, saat peringatan hari raya keagamaan, mereka memilih pulang ke Banyuwangi.

"Seperti saya masih ada keluarga di Bali, masih sering komunikasi, tapi kalau hari raya ya di sini saja," kata Sudana.

Saat ini tradisi keselong sudah mulai jarang dilakukan. Sudah ada empat generasi yang tinggal di Dusun Patoman Tengah dan penduduk pun berbaur dengan warga setempat. "Istri saya orang sini saja," kata Sudana sambil tertawa.

Ia menjelaskan, selama ini masyarakat dusun tinggal dengan tenang berdampingan dengan masyarakat sekitar. Toleransi antargolongan masyarakat tercipta di tengah keberagaman asal-usul maupun kepercayaan mereka.

Penduduk di sana sudah terbiasa saling mengunjungi warga yang tengah merayakan hari raya keagamaan berbeda.

Ketika Nyepi, masyarakat yang tidak merayakannya turut menghormati penduduk yang merayakannya. Pada saat itu, tidak ada keramaian ataupun warga yang memutar musik. Jika ada yang melintas di jalan dusun, mereka tidak menghidupkan mesin sepeda motor.

"Mereka nuntun sepeda sampai keluar dari dusun baru dihidupkan mesinnya," kata Sudana.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com