Mata Trenggana terbelalak. Dia yakin betul Engkong memasukkan empat botol bir hitam. Ya! Empat botol berisi bir hitam.
"Plastik yang saya jinjing itu memang berat. Bukan botol kosong!" cerita Trenggana kepadaku.
Tapi, laki-laki itu hanya tertawa. Tidak marah. Dia memberi uang lagi, kali ini Rp 100 ribu. Waktu itu, menurut Trenggana, bir hitam berharga Rp 12.500,00 per botol. Trenggana disuruh beli sekali lagi.
"Kamu itu disuruh beli bir hitam saja tidak bisa. Dilihat dulu baik-baik, botolnya kosong atau tidak. Supaya tidak mondar-mandir begini," pesan laki-laki dermawan itu.
"Tapi, saya tadi.." sahut Trenggana.
"Sudah, sudah, sana beli lagi. Periksa dulu baik-baik. Teliti ya," kata dia. Trenggana kehabisan kata. Dua kali membeli bir hitam, dua kali pula botolnya mendadak kosong.
"Sampeyan ini bikin malu. Saya ini disuruh orang beli bir hitam! Jangan main-main!" seru Trenggana kepada Engkong. Ributlah mereka.
"Kosong bagaimana? Emang tutup botolnya sudah terbuka ketika saya jual? Kan masih tertutup rapat!" kata Engkong, tak kalah sengit.
"Bisa saja itu akal-akalan Sampeyan. Sini, kasih saya delapan botol bir hitam. De-la-pan!"
Dengan tegas Trenggana meminta Engkong menaruh delapan botol bir hitam di depan matanya. Tak cuma cermat menghitungnya, dia bahkan membolak-balik botol-botol itu satu per satu. Memastikan dia melihat sendiri gelembung bir di dalamnya. Isi! Botol-botol itu benar-benar berisi bir hitam! Setengah berlari, Trenggana secepatnya kembali ke mulut gang.
"Piye?" sambut laki-laki itu, masih dengan roman datar. Nyaris tanpa ekspresi.
"Sudah jelas ini, Pak. Kali ini pasti tidak kosong! Saya periksa satu per satu. Saya memasukkan sendiri ke dua plastik ini," jelas Trenggana.
"Ya, ya. Itu teman-temanmu, suruhlah ke sini minum bareng," serunya.
Sekali tepuk, teman-teman Trenggana yang tak jauh dari situ langsung bergabung.
"Sini, sini. Ayo segera dibuka botol-botol itu. Sudah malam," ujar pria itu.