"Katanya saja Android pintar, tetapi ya gitu, dipakai sistem ini malah gerak terus kayak mau mukul gitu. Cepat hang," tambahnya.
Cara lain yang pernah dicoba adalah menggunakan motor akselerator. Tawan mengatakan, tangan robotnya bekerja, tetapi pinggangnya jadi sakit. Ide ini hanya bertahan satu minggu.
Tawan lalu mengungkapkan bahwa dirinya sempat tertarik dengan satu sistem lain yang dinilainya bagus untuk diterapkan. Namanya brain computer interface (BCI). Namun, alat dan komponennya, menurut dia, cukup mahal.
Sistem lain yang dicobanya adalah menggunakan program numerik. Ternyata program numerik juga mahal karena membutuhkan sejumlah peralatan, seperti printer 3D, yang harganya mahal. Selain itu, lanjut Tawan, bahasa programnya sulit dimengerti dan beberapa komponen pendukung lainnya juga mahal.
Menolak disebut pintar
Sejauh ini, Tawan melanjutkan, robot yang dipakainya dengan sistem EEG adalah yang paling cocok dengan kemampuan dan kebutuhannya. Namun, dia mengaku belum mengetahui efek sampingnya. Dia menargetkan untuk mengevaluasi kinerja alat ini dalam enam bulan. Kini, waktu yang tersisa tinggal dua bulan.
"Kalau pakai EEG, sebenarnya pengendalinya bukan otak (sepenuhnya). Cuma, kita berpikir apa, baru bereaksi. Kalau dikendalikan otak, mungkin saya sudah sakit kepala. Ini tidak, cuma lelah saja," ujarnya.
Tawan mengaku bahwa banyak orang bisa membuat tangan robot seperti yang dia gunakan. Oleh karena itu, dia menolak untuk disebut "pintar".
Dia malah menduga bahwa sebagian orang akan menilai hasil karyanya "kuno" alias ketinggalan zaman, apalagi bahan yang digunakannya kebanyakan barang bekas.
Bersambung: Curhat Tawan Si Pembuat Tangan Robot untuk Pemerintah (3)