Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyusuri Kehancuran Taman Nasional Tesso Nilo (3 - tamat)

Kompas.com - 05/11/2015, 11:39 WIB
Syahnan Rangkuti

Penulis

Izin HPH

Kepala Balai TNTN Tandia yang dihubungi secara terpisah mengakui,  areal Dusun Dolik dan Kuala Renangan merupakan bagian dari ekosistem TNTN awal.

Pada 2004, Kementerian Kehutanan mencabut izin HPH PT Inhutani IV (eks HPH PT Dwi Marta) seluas 38,5 ribu hektar dan mengubah peruntukan menjadi taman nasional.

Pada saat disahkan, eks HPH itu sebenarnya sudah bermasalah karena berisi ribuan perambah.

Pemerintah bukannya membereskan persoalan perambah, malah pada tahun 2009  TNTN diperluas lagi.

Awalnya rencana perluasan mencapai 100.000 hektar dengan melepas izin HPH PT Nanjak Makmur (44.500 hektar) dan HPH PT Siak Raya Timber (18.800 hektar).

Belakangan, hanya eks HPH PT Nanjak Makmur yang masuk wilayah TNTN, sehingga totalnya menjadi 83.000 hektar.

Adapun areal eks PT Siak Raya Timber direncanakan sebagai hutan penyangga untuk mengakomodasi kebutuhan habitat gajah.

Perluasan TNTN dianggap sebagai langkah konkret Kementerian Kehutanan mengimplementasikan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.54 tahun 2006 tentang Penetapan Riau sebagai Pusat Konservasi Gajah Sumatera.

Para perambah

Kondisi lahan eks HPH PT Nanjak Makmur dan HPH PT Siak Raya Timber pada saat itu justru lebih parah. Perambahan di dalamnya sudah merajalela.

Komponen perambah bukan petani kecil seperti Legiman atau Sukiman. (Baca: Menyusuri Kehancuran Taman Nasional Tesso Nilo 2).

Kelompok cukong, pemodal menengah, pejabat pemerintah lokal, pejabat provinsi sampai pusat, TNI, Polri, aparat hukum lain, politisi dan wartawan ikut menggerogoti taman nasional kebanggaan Riau itu.

Di areal eks PT Siak Raya Timber saat ini sudah tumbuh 6.000 hektar kebun kelapa sawit milik sebuah perusahaan yang mengaku menggandeng masyarakat lokal.

Seorang jenderal asal Jakarta disebut-sebut memiliki lahan seluas 3.000 hektar di dekat perusahaan itu.

Pernah ditemukan sebuah memo atas nama polisi berpangkat Komisaris. Polisi itu melayangkan  surat kepada sebuah perusahaan HTI yang berisi pemberitahuan agar lahannya seluas 60 hektar tidak diusik.

Polisi itu melengkapi surat pembelian dari pemuka adat desa setempat yang mengakui areal hutan negara sebagai tanah ulayat. Pola jual beli tanah ulayat oleh pemuka adat adalah transaksi paling dominan di TNTN.

Aparat desa ikut bermain sehingga surat menyurat tersedia  sehingga lebih meyakinkan pembeli (perambah) baru.

Bahkan, Badan Pertanahan Nasional Indragiri Hulu menerbitkan sertifikat hak milik ribuan hektar di wilayah TNTN kepada sebuah koperasi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com