Penuh risiko
Kehamilan dan persalinan di Manggaru penuh dengan risiko apalagi bagi perempuan berusia muda seperti Nira. Layanan dan sarana kesehatan masih sangat terbatas. Dokter terdekat pun berjarak hampir satu jam perjalanan jika ditempuh dengan kendaraan bermotor.
Ketika seorang ibu di desa ini mulai memasuki masa persalinan, umumnya mereka berkunjung ke seorang paraji (dukun bersalin). Fasilitas yang dimiliki seorang paraji tentunya sangat terbatas dibandingkan dokter atau rumah sakit. Akibatnya, komplikasi parah atau bahkan kematian menjadi hal yang sering terjadi dalam proses bersalin.
Subyek pernikahan menimbulkan tanggapan yang beragam dari anak-anak laki di Manggaru. “Aku punya teman perempuan yang menikah saat baru berusia 11 tahun,” kata salah seorang anak. “Salah satu temanku menikah waktu usianya masih muda. Dia meninggal saat melahirkan,” kata anak yang lain.
Meskipun ada banyak kisah seperti itu, para murid laki-laki mengakui bahwa pernikahan seperti yang akan dialami Nira adalah hal yang "normal". Tak satupun dari mereka mengetahui tentang adanya usia minimum yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Pernikahan negara ini.
Meski demikian, salah satu anak berkata, “Mestinya anak perempuan tidak boleh menikah saat usia 14 tahun. Dia mungkin masih ingin bermain dan bergaul dengan teman-temannya. Perempuan juga memiliki mimpi dan harapan mereka sendiri.”
Mimpi dan harapan Nira akan tertahan. Calon suaminya, Fadil, berusia 9 tahun lebih tua darinya. Fadil saat ini tidak memiliki pekerjaan. Rencana bagi masa depan pasangan ini tidak jelas. Tetap saja, Nira menegaskan bahwa menikahi Fadil adalah keputusan yang tepat. “Tuhan mengirimkan aku untuk menjadi jodohnya,” Nira berkata. “Ini takdir.”
Demi keamanan nara sumber, UNICEF merahasiakan nama dan lokasi sesungguhnya dari kisah ini (Red).