Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kota Ambon: Musik Pun Jadi Perekat Sosial

Kompas.com - 06/07/2015, 15:00 WIB
Oleh Fransiskus Pati Herin

Tembang "Maluku Tanah Pusaka" mengundang rasa bersalah dan penyesalan mendalam atas konflik bernuansa agama yang mengoyak Kota Ambon, Maluku, bertahun-tahun, sejak 1999. Mendengar lagu tersebut, rasa dan pikiran pun menyatu dengan tekad untuk mewujudkan perdamaian di kota yang dijuluki Manise itu.

Suara solo nan merdu menghantar "Maluku Tanah Pusaka" seakan masuk ke relung hati warga di tengah riuh rendah kendaraan yang melintasi Jalan Diponegoro, Kota Ambon, suatu malam, beberapa saat lalu. Vokal itu milik si nona manis bernama Grace dari rumah kopi Maples.

Terlalu menghayati lagu, pada lirik tertentu, ia bernyanyi sembari mengatupkan mata. "Maluku Tanah Pusaka" merupakan lagu bertema perdamaian dan jalinan adat istiadat antarwarga dan antarkampung di Maluku, termasuk Ambon, yang terkenal dengan sebutan pela gandong. Lagu itu kerap dinyanyikan dalam setiap momen penting untuk mengingatkan warga agar terus memelihara persaudaraan.

Pengunjung Maples yang menikmati aneka sajian makanan dan minuman dibuat hanyut dengan alunan berirama lambat itu. Mereka umumnya warga setempat, datang dari berbagai kalangan, agama, dan strata sosial. Ada yang turut bernyanyi, ada pula yang sekadar menggerakkan kepala mengikuti irama musik. Yang lainnya hanya menyimak, sembari menatap Grace beserta personel lain.

Selo sebagai pemain gitar bas, Refi memainkan cajon (pengganti drum berbentuk kotak), dan Ricardo pemain gitar pengiring merangkap melodi. Grup musik bernama Untitle Band itu beranggotakan lebih dari 10 orang dan berasal dari latar belakang berbeda pula. Mereka bermain musik secara bergantian setiap malam.

Mereka juga mempersilakan pengunjung bernyanyi atau bermain musik bersama. "Sejak tahun lalu, katong (kami) main di rumah kopi Maples. Panggung ini milik anak muda Ambon," ucap Selo, personel yang dituakan di kelompok musik itu.


Musik tak beragama

Selain Untitle Band, ada Molucca Bamboo Wind Orchestra (MBO), grup yang terorganisasi secara lebih baik. MBO di bawah pimpinan Maynard Raynolds Nathanael Alfons atau akrab disapa Rence Alfons, lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tahun 1997.

Personel MBO lebih dari 100 orang. Mereka memainkan alat musik bambu dengan tambahan beberapa instrumen seperti gitar dan keyboard. Pada lagu tertentu, MBO memadukan rebana dengan toto buang (gong kecil sebanyak 14 buah). Rebana dan toto buang melambangkan kolaborasi musik antara Islam dan Kristen.

Anggota MBO berasal dari berbagai usia, paling muda 11 tahun hingga 72 tahun, serta berasal dari berbagai latar belakang, seperti pelajar, tukang ojek, pegawai negeri sipil, dan pensiunan. Perpaduan mereka yang harmonis bagaikan alunan musik yang mereka hasilkan pula. "Musik menembus semua perbedaan. Musik menyatukan segala hal. Musik itu tidak beragama," ujar Rence.

MBO adalah satu-satunya orkestra bambu di Indonesia, bahkan dunia, dan menjadi kebanggaan warga Kota Ambon. Mereka konsisten mencuri perhatian penonton ketika tampil dalam berbagai acara, seperti saat perayaan Hari Ulang Tahun Ke-437 Kota Ambon di Lapangan Merdeka pada September 2014.


Pesan damai

Perpaduan musik di kota pun disuguhkan dalam kegiatan keagamaan. Itu terlihat ketika acara peresmian Gereja Katolik St Jacobus Paroki Ahuru di Kecamatan Sirimau. Gereja tersebut terbakar ketika konflik.

Para tamu yang datang, di antaranya Gubernur Maluku Said Assagaff dan Wali Kota Ambon Richard Louhenapessy, disambut dengan tarian Sawat oleh umat Islam setempat dengan diiringi alat musik rebana dan gong. Grup suling bambu dari Jemaat Gereja Protestan Petra turut menghibur.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com