Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kota Tanjung Pinang: Menjaga Kota Gurindam

Kompas.com - 12/06/2015, 15:00 WIB

Sebagian daerah yang belum tersentuh pembangunan juga ditetapkan sebagai kawasan lindung, seperti di Bukit Kucing dan Bukit Manuk. Ada pula kawasan lindung bakau. "Sekarang sedang didorong jadi kawasan wisata agar konservasi bisa membawa manfaat langsung kepada warga," ujar Riono.

Meski dengan dana terbatas dan sibuk membangun berbagai infrastruktur, Tanjung Pinang tidak melupakan pelestarian budaya. Setiap tahun dibuat aneka festival untuk melestarikan kesenian Melayu. Hanya pantun yang tidak dibuatkan acara khusus karena keterampilan itu terus terpakai dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Bahkan, pantun dipakai di tengah menghabiskan kopi di kedai.

Di sekolah-sekolah juga terus dikenalkan kebudayaan Melayu. Pelajar lokal ataupun pendatang diajak mengenal kebudayaan Melayu.

Tak hanya kesenian Melayu yang terjaga. Warga berbagai suku lain juga rutin menggelar kegiatan budaya suku masing-masing. Perantau-perantau Jawa rutin menggelar festival reog, ludruk, hingga campur sari. Demikian pula perantau-perantau dari daerah lain di Indonesia.

Galau

Namun, banyak warga menilai Tanjung Pinang sebagai kota yang galau. Di satu sisi, kota itu ingin mempertahankan identitas dan sejarahnya. Namun, pada saat yang sama aneka bukti sejarah terus hilang.

Gedung tempat sekolah Agus Salim sudah lama hilang. Masjid Keling di tengah kota dipugar tanpa menyisakan bentuk dan penampakan bangunan lama. Bangunan baru sama sekali tidak menyisakan tanda masjid yang sudah berusia lebih dari seabad.

Museum kota juga sudah lama rusak dan terpaksa ditutup agar tidak membahayakan pengunjung. Usulan perbaikan sulit diwujudkan di tengah defisit anggaran ratusan miliar rupiah yang dialami Pemerintah Kota Tanjung Pinang dan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau.

Selain itu, beberapa kali terungkap ada sindikat penjarah dan penyelundup benda kuno di Tanjung Pinang. Mereka menjarah barang muatan kapal tenggelam (BMKT) di perairan Tanjung Pinang. Hasil jarahan dijual secara ilegal ke sejumlah pihak.

Banyak warga tidak hirau dengan kehilangan-kehilangan itu. Sebab, mereka sudah sesak dengan persoalan lain yang tidak kalah penting, yaitu ketersediaan listrik.

Berstatus ibu kota provinsi tidak membuat Tanjung Pinang bebas dari krisis listrik selama beberapa tahun terakhir. Setiap hari, warga harus merasakan listrik padam paling tidak empat kali sehari dengan durasi hingga dua jam setiap kali padam.

"Bagaimana kami mau kerja kalau listrik seperti ini? Tanjung Pinang sulit punya industri selama persoalan listrik tidak selesai," ujar Hengki, warga.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Juni 2015, di halaman 22 dengan judul "Menjaga Kota Gurindam".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com