Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mereka Buka Kunci Keterbelakangan

Kompas.com - 23/05/2015, 15:01 WIB

KOMPAS
- ”Saya ingin jadi guru, biar bisa mengajar banyak orang,” ujar Sylvia, malu-malu. Dara berusia 14 tahun itu pun nantinya ingin melanjutkan ke sekolah menengah kejuruan.

Anak Kepala Dusun Gunung Kunci, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang, Jawa Timur, itu tidak ingin menjadi buruh tani atau peternak sapi perah, seperti mata pencarian sebagian besar warga di dusunnya. Sylvia pun lalu melanjutkan belajar di Gubuk Baca Lentera Negeri di samping rumah gurunya, Mariyatul Qibtiyah (39). Rabu (21/5) petang itu, Qibtiyah mengajar siklus menstruasi kepada anak didiknya.

Dari sekelompok gadis yang belajar pada Qibtiyah sore itu, hanya Sylvia yang bersekolah di madrasah tsanawiyah (MTs). Sisanya sudah tak bersekolah lagi.

”Anak lainnya tidak sekolah karena jauh. Sekolah terdekat di dusun sebelah, sekitar 3 kilometer dari sini. Tidak ada angkutan ke sana, kecuali ojek. Untuk anak gadis usia remaja, ini rawan. Lokasi sekolah itu jauh dan melewati ladang tebu,” kata Qibtiyah. Sylvia beruntung, bisa ke sekolah dengan diantarkan dengan bersepeda motor.

Untuk berjalan kaki menuju SD Negeri Jabung 3, yang berjarak sekitar 3 km atau ke MTs Ahmad Yani yang berjarak sekitar 5 km dari Gunung Kunci, terlalu jauh untuk anak gadis itu. Rute menuju sekolah di kawasan lereng barat Pegunungan Tengger itu hampir setengahnya merupakan ladang tebu. Kondisi itu membuat sebagian besar warga Gunung Kunci memilih tidak menyekolahkan anak mereka. Warga berpandangan, bersekolah atau tidak, anak-anak mereka akan tetap ngarit (mencari rumput) seperti orangtua mereka.

Buruh tani

Dusun Gunung Kunci terletak sekitar 30 km arah timur Kota Malang. Jalur menuju wilayah itu sebenarnya tidak sulit. Kendaraan roda empat pun bisa menjangkaunya. Dusun ini dihuni sekitar 450 keluarga. Rata-rata warga bermata pencarian sebagai buruh tani dan sebagian beternak sapi perah.

Sebagai buruh tani, warga itu mulai bekerja pukul 07.00 dengan dijemput oleh kendaraan pengangkut yang membawanya ke lokasi garapan di desa lain, dan baru pulang pukul 12.00. Selama orangtuanya bekerja, anak-anak biasanya mengisi waktu dengan bermain di hutan dan perbukitan di sekitar dusun.

Akses yang mudah menuju Gunung Kunci itu tak semudah kisah pendidikan warganya. Sebagian besar anak usia sekolah tidak bersekolah. Pada 1994, misalnya, hanya seorang anak di dusun itu masuk ke MTs.

”Hanya saya saat itu satu-satunya anak lelaki dari dusun ini yang bersekolah ke MTs. Pada 2014, dari 11 anak kelas VI di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al Marhamah hanya seorang yang melanjutkan ke MTs. Tahun ini mungkin ada 2-3 anak yang melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi. Semoga semangat anak-anak belajar terus meningkat,” tutur Mas’udi (37), Ketua Yayasan Al Marhamah.

MI Al Marhamah didirikan oleh Mas’udi di dusun itu pada 2009. Saat itu kakaknya, Qibtiyah, mendirikan Raudhatul Athfal (setingkat TK). ”Kami melanjutkan yang dirintis oleh ayah, yaitu membangun sarana pendidikan bagi warga. Sebelumnya, ada madrasah diniyah (sekolah Islam di luar kurikulum formal) rintisan ayah,” ujar Mas’udi lagi.

Sebagai warga yang terpelajar, Mas’udi dan keluarganya merasa wajib berbagi ilmu. Apalagi, hanya keluarga Muhammad Sueb, ayah Mas’udi, yang selama ini mengenyam pendidikan cukup tinggi di dusun itu. Selepas MTs, Mas’udi masuk pondok pesantren. Kakak dan adiknya kuliah.

Saat MI dibangun, hanya 40 siswa yang mendaftar. Saat itu ruang belajarnya masih berupa bangunan besar, dengan sekat untuk belajar. Untuk mendapatkan murid, Mas’udi harus mendatangi satu per satu rumah warga di dusun itu. Kini, siswa MI Al Marhamah berjumlah 70 orang dengan guru 9 orang.

MI Al Marhamah menjadi satu-satunya tempat belajar terdekat dan gratis di Gunung Kunci. Untuk biaya seragam dan operasional, sekolah itu mendapatkan bantuan operasional sekolah dan bantuan siswa miskin dari MI Miftahul Huda, yang berjarak sekitar 6 km dari Gunung Kunci. MI Al Marhamah secara administratif menginduk pada MI Miftahul Huda.

Sejak didirikan pada 2009, laju keluar-masuk siswa di MI Al Marhamah cukup tinggi. Akibatnya, banyak warga di dusun itu, meski berusia sekolah, tidak bisa membaca. ”Anak-anak sekarang mulai bisa baca. Orangtua yang buta aksara pun mau belajar. Kesadaran warga akan pentingnya pendidikan terus tumbuh,” ujar Mas’udi.

Gunung Kunci sebelumnya adalah dusun terbelakang. ”Saya puas mendengar ada anak-anak kini bercita-cita tinggi menjadi tentara, guru, atau dokter. Artinya ada pandangan maju di antara anak-anak didik saya. Sebelumnya semangat maju itu nyaris tak ada,” kata Mas’udi.

Pada 2014, anggota Komunitas Lentera Negeri masuk ke Gunung Kunci. Mereka membantu Mas’udi meningkatkan pendidikan dengan menjadikan gubuk pengajian milik Qibtiyah sebagai gubuk baca.

Anak buruh

Tak berbeda dengan peran Mas’udi dan Qibtiyah, di Dusun Krajan, Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, juga ada Endang Sampurna Ningsih (45). Ia sukarela memberikan les mata pelajaran, tata krama, dan memberikan konseling berbagai persoalan untuk anak-anak kaum buruh pabrik di dusunnya.

Krajan merupakan kawasan pabrik. Sekitar 43 persen warga dusun bekerja sebagai buruh pabrik rokok dan garmen di sana. Sebagai buruh, orangtua anak-anak itu berangkat pukul 04.00 dan baru pulang pukul 17.00. Nyaris anak-anak buruh itu tidak terurus, baik dalam sekolah maupun pergaulannya.

”Saya hanya membantu mereka belajar. Selama ini mungkin orangtua mereka sibuk bekerja sehingga tidak ada waktu membimbing anaknya belajar. Saya ingin melihat anak-anak itu bisa mendapat pendidikan yang baik,” ujar Endang.

Les yang diberikan Endang bersifat sukarela. Ibu dua anak itu mulai membimbing anak-anak kaum buruh itu sejak 1998. ”Yang terpenting, anak-anak itu bisa belajar dengan baik. Saya senang jika bisa melihat mereka berhasil sekolah atau bisa meneruskan sekolah,” tutur Endang, yang juga guru di MI Nurul Huda Mulyorejo itu.

Beban Endang membimbing anak-anak buruh itu tak ringan. Anak-anak kelas I-V SD itu bukan hanya belajar mata pelajaran, melainkan juga menyampaikan berbagai persoalannya.

Bupati Malang Rendra Kresna mengakui angka buta aksara di kabupaten itu tersisa sekitar 4.000 orang dari total penduduk sekitar 2,4 juta jiwa. Rata-rata mereka yang buta aksara berusia di atas 50 tahun. Pemerintah berusaha mengatasi buta aksara itu dengan memberikan kursus dan pelatihan informal melalui sanggar belajar, bekerja sama dengan lembaga kemasyarakatan. (Dahlia Irawati)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com