Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dulu Nyaris Putus Sekolah, Aprillyani Kini Mendunia karena Kulit Randu

Kompas.com - 28/04/2015, 19:46 WIB
Kontributor Yogyakarta, Wijaya Kusuma

Penulis


YOGYAKARTA, KOMPAS.com
- Meski sempat nyaris putus sekolah karena masalah ekonomi, Aprillyani Sofa Marwaningtyas justru berhasil mengharumkan nama Indonesia dengan berhasil meraih Gold and The Best Project 28th Mostratec Level of International in Brazil 2014.

Perempuan yang lahir tanggal 21 April 1997 di Desa Kasihan, Kecamatan Sukolilo, Pati, Jawa Tengah, itu berhasil mengolah sampah kulit buah randu menjadi biopestisida.

Anak pertama dari dua bersaudara ini menuturkan, awalnya pada tahun 2012, dirinya melihat pamannya yang adalah seorang petani jagung sedang melapisi tanah dengan abu agar subur. Namun, ternyata setelah ditanami, ada beberapa bibit jagung yang tidak tumbuh. Saat dicek lagi, abu yang digunakan tercampur dengan sisa pembakaran kulit buah randu.

"Sisa abu yang tidak terpakai itu sama paman dibuang depan rumah. Eh, ternyata rumput yang terkena campuran abu kulit randu itu layu," ucap Aprillyani saat ditemui di UGM, Selasa (28/4/2015).

Penasaran dengan cerita pamannya, Aprillyani lalu mencoba mencari tahu kandungan yang ada di kulit buah randu sehingga tanaman yang terkena mati. Beberapa literatur berhasil didapatnya lewat buku maupun internet.

"Saya penasaran, lalu cari di google, baca buku. Ternyata kulit buah randu itu mengandung senyawa natrium dan kalium," ungkapnya.

Kebetulan, lanjut dia, saat itu dirinya mengikuti kegiatan Karya Ilmiah di SMA PGRI 2 Kayen Pati Jawa Tengah. Literatur tentang kulit buah randu itu pun lalu diputuskan menjadi bahan untuk karya ilmiah sebab Kabupaten Pati merupakan salah satu sentra pengolahan Kapuk Randu di Indonesia.

Limbah kulit buah randu mencapai 150 ton per bulan, namun pemanfaatannya belum maksimal sehingga hanya menumpuk dan berakhir dengan dibakar.

"Lalu saya membuat percobaan dengan kulit buah randu itu menjadi biopestisida," ucapnya.

Kulit buah randu dibakar lalu diambil abunya, lalu diekstrak. Hasilnya dicampur dengan sabun colek. Setelah tercampur, formula itu diuji dengan disemprotkan ke tempe.

"Setelah saya semprot, tempe itu tidak ada jamurnya. Biasanya kan tempe kalau dibiarkan akan ditumbuhi banyak jamur," tegasnya.

Percobaan kedua, formula biopestisida dari abu kulit buah randu itu pun lantas disemprotkan ke tanaman cabe milik pamanya yang saat itu terkena jamur. Ternyata, tanaman cabe itu pun terbebas dari hama jamur yang merusak hasil panen.

"Saya prihatin karena saat itu harga cabe melonjak tinggi akibat rusak terkena hama jamur. Saya putuskan untuk tes ke tanaman paman dan berhasil," tandasnya.

Melihat hasil dari formula itu, SMA PGRI 2 Kayen pun mendaftarkan Aprillyani mengikuti berbagai lomba karya ilmiah baik nasional mapun internasional.

"Sekolah mendaftarkan untuk ikut lomba karya ilmiah. SMA PGRI memang aktif mendaftarkan untuk lomba-lomba, bahkan biaya ke Brazil juga semua dari sekolah," ujarnya.

Hasilnya, anak pertama dari dua bersaudara ini menyabet beberapa penghargaan, antara lain Bronze Medal Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia (OPSI) Level of National in Jakarta 2013 dan silver medal International Young Project Olympiad (IYIPO) Level of International in Georgia east europe.

"Yang paling membahagiakan dapat medali emas di Best Project 28th Mostratec Level International in Brazil tahun 2014. Yang baru saja The Kick Andy Young Heroes 2015," ucapnya.

Menurut dia, saat ini, formula biopestisida dari kulit buah randu yang ditemukannya baru sebatas digunakan oleh petani-petani cabai di desanya. Itu pun lewat kenalan-kenalan pamannya yang juga berprofesi sebagai seorang petani.

"Baru digunakan petani-petani yang kebetulan teman paman. Saya bingung bagaimana agar bisa bermanfaat bagi masyarakat luas, saat ini saya konsentrasi kuliah dulu," tuturnya.

Hampir putus sekolah

Keterbatasan ekonomi keluarga sempat membuat Aprillyani nyaris tak bisa melanjutkan ke jenjang SMA. Lulus dari SMP Negeri 2 Kayen pada tahun 2011, Aprillyani berniat untuk terus melanjutkan pendidikanya dengan masuk ke SMA. Namun, niatnya itu sempat terbentur.

"Setelah lulus SMP saya hampir tidak bisa sekolah lagi karena biaya. Bapak kan kerja serabutan, biaya sekolah juga mahal," ujarnya.

Kala itu, sang ayah berencana memasukan Aprilliyani kursus menjahit sehingga setelah lulus SMP dapat membuka jahitan.

"Bapak mau mendaftarkan saya kursus jahit. Tapi saya bilang, mau lanjut sekolah. Kalau lulus SMP saja mau jadi apa," tegasnya.

Dengan niat untuk terus sekolah, Aprillyani berusaha membujuk sang ayah agar merestui melanjutkan sekolah. Melihat keinginan itu, sang ibu juga memberikan dukungan agar terus melanjutkan sekolah.

"Bapak dan ibu setuju, lalu saya daftar ke SMA PGRI 2 Kayen dan diterima," ucapnya.

Melihat kondisi kedua orangtuanya yang mengusahakan biaya untuk sekolah, anak pertama dari dua bersaudara ini pun bertekad untuk mendapatkan beasiswa. Perjuangan kerasnya tak sia-sia, selama SMA, Aprillyani terus mendapatkan beasiswa pendidikan.

Bahkan, dia mampu mengharumkan nama orangtua, sekolah dan bangsa Indonesia dengan memperoleh mendali di beberapa lomba karya ilmiah ditingkat Nasional maupun internasional. Hingga akhirnya, Aprillyani pun dapat bernafas lega setelah diterima kuliah di Universitas Gajah Mada (UGM) jurusan Farmasi lewat jalur prestasi.

"Tidak ada yang tidak mungkin, dengan niat dan berusaha semua pasti bisa diraih. Kekurangan dan keterbatasan ekonomi justru menjadi semangat untuk terus maju," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com