Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perjalanan Menegangkan Menuju Batavia Kecil di Bengkulu

Kompas.com - 27/08/2014, 07:30 WIB
Kontributor Bengkulu, Firmansyah

Penulis

BENGKULU, KOMPAS.com - Hari menunjukkan pukul 15.30 WIB, Jumat (22/8/2014) saat Kompas.com melihat jam dinding di sebuah warung mi di Desa Napal Putih, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu. Warung mi tersebut merupakan gerbang menuju sebuah desa yang sempat menjadi primadona tujuan liburan warga Belanda.

Desa Lebong Tandai merupakan sebuah desa terisolasi di Bengkulu. Konon, Belanda sekitar tahun 1920-an menjadikan desa ini sebagai kawasan yang dipenuhi berbagai fasilitas modern. Tak salah bila para menir dan noni-noni Belanda menjuluki Lebong Tandai sebagai “Batavia Kecil”. Desa Lebong Tandai menjadi daerah ramai mirip ibu kota.

“Masa dahulu desa ini sungguh modern. Kawasan ini telah memiliki bioskop, hotel, lapangan tenis, landasan helipad, gedung teater, pasar dan lainnya, layaknya kehidupan modern. Kawasan ini sangat padat saat emas masih menjadi primadona. Namun sekarang lihatlah kampung ini terisolasi,” kenang Pak Gober, salah seorang tetua kampung beberapa waktu lalu.

Naik lori Molek pacu adrenalin

Untuk memasuki Desa Lebong Tandai, satu-satunya transportasi yang bisa digunakan adalah motor Lori Ekspres (Molek). Warga setempat menyebutnya demikian. Kendaraan ini adalah sebuah lori yang digerakkan oleh mesin kapal.

kompas.com/Firmansyah Rel kereta lori yang menghubungkan Desa Lebong Tandai terputus akibat longsor, akibatnya ribuan jiwa masyarakat di desa tersebut terisolasi

Molek berjalan di atas rel warisan Belanda yang saat itu menjarah emas di lokasi tersebut. Kereta kecil ini berukuran sekitar 2,5 meter X 0,5 meter dengan kapasitas penumpang maksimal 12 orang, dilengkapi setir layaknya kereta yang dikendalikan seorang masinis. Kecapatan maksimalnya hanya 50 kilometer per jam.

Dengan menumpangi Molek, perjalanan dari Desa Napal Putih menuju Lebong Tandai memakan waktu sekitar dua jam dengan panjang lintasan sekitar 30 kilometer. Namun jika berangkat dari Kota Bengkulu membutuhkan waktu sekitar enam jam.

Saat tiba di Desa Napal Putih, Kompas.com sedikit telat karena Molek telah berangkat terlebih dahulu. Setelah menunggu hampir dua jam, dengan bantuan warga setempat barulah ada Molek lain yang bersedia mengantar ke Desa Lebong Tandai.

Perjalanan menggunakan Molek pun dimulai. Namun saat hendak berangkat, Molek berdinding papan yang rapuh itu mengalami kerusakan pada prodo kopling. Efriadi, masinis Molek terlihat berpeluh ketika mengganti prodo dengan yang baru. Sekitar 30 menit kemudian, Molek sudah normal kembali dan perjalanan pun dimulai.

Hamparan perkebunan rakyat menyambut Molek kecil rapuh itu yang berjalan di atas rel lapuk. Suara keras mesin Molek tentu saja membuat para penumpang tak dapat saling berkomunikasi dengan baik.

Miris memang melihat kondisi alat transportasi tersebut. Bagaimana tidak, ribuan warga Lebong Tandai harus bertaruh nyawa untuk keluar atau masuk ke desa dengan menumpangi lori tersebut. Apalagi jalur yang dilalui lori kerap menemui jurang menganga di bawahnya.

Sekali waktu jalur molek melewati beberapa rel yang sambungannya tak rapi dan panjangnya sekitar satu kilometer. Kondisi ini tentu saja membuat laju lori Molek seperti terhempas dan membuat penumpang yang belum terbiasa menjerit ketakutan.

Yang paling memprihatinkan adalah saat molek harus melintasi sebuah jembatan yang tak lagi aman dilalui. Sementara di bawahnya terdapat sungai yang sungguh dalam. Selain itu, tak jarang perjalanan harus dihentikan karena rel Molek tertimbun longsor dari tebing yang landai di samping lintasan. Intinya, menumpangi Molek benar-benar memacu adrenalin.

Sang Masinis, Efriadi sudah terbiasa dengan kondisi Molek serta jalur relnya sehingga dalam kondisi apapun, dia selalu tampak tenang. Bahkan, Efriadi sesekali bersiul-siul sambil mengontrol kemudi Molek yang dibuat dari setir mobil itu.

Di tengah perjalanan yang menegangkan itu, hujan turun. Tentu saja, kondisi itu membuat Kompas.com dan penumpang lainnya degdegan. Selain longsor, kami juga takut roda lori anjlok akibat rel licin terkena air hujan.

Kekhawatiran penumpang rupanya dirasakan oleh sang masinis, Efriadi. Ketika lori yang kami tumpangi menemui tanjakan, dengan cekatan Efriadi menaburkan pasir ke besi rel agar laju roda Molek tak licin.

Kian menegangkan

Matahari mulai terbenam, perjalanan masih panjang. Lori Molek kemudian memasuki kawasan hutan belantara. Di sisi kiri dan kanan rel terlihat deretan pohon hutan membuat kami seperti memasuki sebuah terowongan yang terbuat dari pepohonan. Kondisi "horor" ini kian sempurna ketika terdengar sayup suara khas hewan hutan di tengah gemuruhnya suara lori Molek.

KOMPAS.com/Firmansyah warga bergotong royong memperbaiki rel kereta lori secara swadaya, hingga kini belum ada satu pun bantuan yang masuk ke wilayah ini, pasca longsor yang memutus jalur trasnportasi 680 jiwa Desa Lebong Tandai
Sekitar pukul 20.00 WIB, perjalanan kami berhenti di rel yang sudah lama putus akibat tanah yang dipijaknya ambles sepanjang 50 meter. Jalur rel yang putus itu adalah penghubung dua bukit. Itulah akhir perjalanan kami dengan menumpangi Molek pertama.

Semua penumpang pun turun. Mereka kemudian menuruni lembah untuk menjangkau bukit di seberang tempat terusan jalur rel berada. Sementara penumpang yang membawa barang akan dibantu mengantarkan barangnya dengan menggunakan seling kawat yang menghubungkan kedua bukit terbelah akibat longsor itu.

“Sudah tiga tahun rel ini putus tapi tak pernah dibangun, ini penderitaan kami selama ini,” kata Robet, salah seorang warga setempat yang kebetulan berbarengan dengan Kompas.com.

Celakanya, saat tiba di bukit yang dikenal bernama Tebing Ronggeng itu, tak ada molek yang siap berangkat menuju Desa Lebong Tandai.

Tebing Ronggeng memiliki cerita tragis. Konon, di kawasan tersebut terjadi pembantaian terhadap 23 penari ronggeng dan beberapa para pekerja paksa rel oleh Belanda setelah mereka berpesta di Lebong Tandai. Itulah mengapa tebing tersebut diberi nama "Ronggeng".

Saat tiba di Tebing Ronggeng, ternyata tidak kurang dari 20 orang warga juga menunggu Molek sama seperti kami. Wajah mereka kuyu, lapar dan kedinginan karena diguyur hujan deras di tengah hutan tersebut.

Di lokasi ini juga, sinyal ponsel tak muncul maksimal, hanya satu strip dan terkadang hilang. Namun demikian, kami tetap berusaha mengontak pemilik Molek di Desa Lebong Tandai dengan sinyal ponsel yang memprihatinkan itu.

Jarak dari Tebing Ronggeng menuju Desa Lebong Tandai berkisar 15 kilometer lagi. Sekitar pukul 23.00 WIB, Molek kiriman dari Desa Lebong Tandai tiba. Para warga tampak berseri, namun hanya sesaat. Hal itu karena warga mendengar kabar bahwa lori Molek yang dikirim sebanyak dua unit, sementara yang muncul baru satu. Kemungkinan satu lori lagi menyusul.

Jika lori Molek yang pertama tiba, berangkat, kemungkinan besar akan bertemu dengan satu lori lagi yang menyusul. Tabrakan bisa tak terelakan karena jalur yang dilalui kedua lori itu hanya satu.

Untuk mencegah kecelakaan, tak ada pilihan lain kecuali menunggu lagi. Selang beberapa jam kemudian baru lah satu lori Molek terakhir tiba, dan kami pun berangkat berbarengan.

Perjalanan dilanjutkan dengan kembali menumpang lori Molek. Perjalanan melewati hutan yang lebat membuat mata kami seperti gelap. Tak ada yang bisa kami lihat kecuali beberapa bibir jurang curam yang menganga dan dinding tanah setinggi puluhan meter.

Menaiki molek juga jangan pernah mengeluarkan kepala atau tangan karena bisa menyambar ranting pohon atau dinding tanah. Maklum, jarak antara lori Molek dengan pohon atau dinding di sisi kiri dan kanan hanya beberapa centimeter.

Pada pukul 00.05 WIB dini hari, kami pun tiba di Desa Lebong Tandai. Kendati terpencil, namun kawasan tersebut kondisinya terang karena listriknya menggunakan tenaga air yang dibuat secara swadaya oleh warga.

“Inilah kampung kami, jauh terpencil. Menuju ke sini membutuhkan nyali dan perjuangan panjang. Tapi yakin lah, Anda pasti akan terpuaskan oleh sejarah dan wisata yang dimiliki,” kata Robet ketika tiba di Desa Lebong Tandai.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com