Salin Artikel

Desa yang Tak Dirindukan

Parahnya, justru menarik warga desa produktif lain untuk mencari peluang di kota. Tersisa, penduduk usia tua yang bergelut di sektor pertaniannya.

Sementara, bagi sebagian besar perantau, pemikat mudik soal pengabdian ke orangtua. Karena, desa dibayangi ilusi keterbatasan peluang.

Lapangan kerja terbatas, kantong kemiskinan, hingga pertanian yang inferior masih mendominasi, meski pembangunan desa masif terjadi.

Merindukan desa

Melankolis desa sebagai daerah kampung halaman tempat dilahirkan, bebas polusi, pemandangan indah, air sungai jernih, hingga suburnya pertanian. Suasana ini jarang didapati perantau di kota besar.

Dampaknya, desa peri-peri penyangga perkotaan menjadi lokasi yang menarik untuk dihuni, demi mendapatkan suasana kampung halaman setiap hari.

Sebut saja desa-desa di Bogor, Bekasi, Depok, dan Tangerang selatan yang sebagian dihuni oleh pekerja komuter dari Jakarta.

Meski demikian, hunian sekitar kota tak akan mampu menggantikan kerinduan pada orangtua. Sehingga proses mudik musiman akan terus terjadi selama masih ada orangtua yang menanti.

Fenomena mudik ini menunjukkan perpindahan orang secara masif membawa konsekuensi ekonomi yang bisa dimanfaatkan.

Prosesi ini tak hanya terjadi saat Lebaran tiba, fenomena mudik populer dan terjadi di saban hari raya, seperti Idul Fitri, Hari Natal, Hari Raya Galungan, dan Tahun Baru Imlek.

Daerah tujuan mudik menjadi penikmat utama, bagaimana dampak ekonomi bakal dirasakan.

Sebagai gambaran, catatan Kementerian Perhubungan, potensi arus mudik Lebaran 2024 mencapai lebih dari 190 juta orang dengan potensi perputaran uang lebih dari Rp 150 triliun berputar di daerah tujuan mudik dan destinasi wisata.

Pinjaman masyarakat meningkat menjelang Lebaran, salah satunya demi mengobati kerinduan.

Menurut hasil survei Bank BTPN, masyarakat yang berpotensi mengajukan pinjaman meningkat 13 persen menjadi 35 persen untuk berbagai keperluan, termasuk 60 persen untuk persiapan menyambut Lebaran, 46 persen modal usaha, dan 18 persen renovasi rumah.

Potensi besar ini terjadi sangat singkat pada kisaran dua minggu, selama kerinduan pada kampung halaman masih dihuni oleh orangtua.

Masalahnya, bagi perantau yang sudah tidak memiliki ikatan sosial dengan kampung halaman, siapa yang layak untuk dirindukan?

Perkembangan desa

Desa telah berkembang pesat, dengan pemenuhan akses ekonomi yang tak kalah dengan kota. Sehingga, perkembangan desa selama sepuluh tahun terakhir perlu ditunjukkan, bahwa banyak peluang ekonomi yang layak untuk ditinggali.

Sepanjang 2015 hingga 2019, pemerintah telah membangun infrastruktur untuk membuka akses dari dan ke desa.

Hingga 2021, data potensi desa (Podes) mencatat ada 65.969 desa yang telah memiliki jenis jalan utama berupa aspal/beton. Sementara, akses komunikasi, sebaran sinyal telepon seluler mencapai 15.326 desa memiliki sinyal sangat kuat dan 46.006 desa memiliki sinyal kuat.

Juga ditopang dengan akses internet yang tersebar di 61.926 desa terjangkau sinyal 4G/LTE.
Dari sisi akses ekonomi, desa juga telah memiliki layanan dasar yang lengkap untuk menopang kehidupan sehari-hari.

Hal ini tergambar dari data Podes 2021 yang menunjukkan 29.356 desa ada pasar, 30.920 desa mudah mengakses Bank, baik bank umum maupun bank perkreditan rakyat (BPR), serta 55.943 desa terjangkau koperasi.

Hal ini tentu mendukung produk unggulan desa di 23.472 desa, bahkan 2.385 desa yang mengekspor produk unggulannya ke negara lain.

Bagi desa yang jauh dari kota, terbukanya peluang ini memiliki implikasi dua hal, dari sisi positif warga desa mudah mengakses dunia luar. Sisi negatifnya, banyak warga desa yang keluar mencari peluang lebih luas.

Sementara, bagi desa di tepian kota, akan merangsang pertumbuhan hunian baru, dalam rajutan ekonomi desa-kota. Membangun ekonomi sirkuler desa kota dalam simpul pekerja komuter. Terutama bagi perantau yang rindu suasana desa.

Merajut desa-kota

Urbanisasi sebagai fenomena alami berlaku secara universal. Jika dalam satu wilayah tidak ada peluang, maka mendorong penduduk migrasi ke wilayah lain.

Hal ini tergambar keterbatasan peluang di desa sebagai faktor pendorong dan peluang di kota sebagai faktor penarik.

Sementara, budaya mudik dapat menjadi simpul bagaimana pertumbuhan desa dan kota bekerja.

Dari sisi kepentingan penduduk urban, uang dan tabungan yang telah disiapkan diputar di desa, bahkan rela berhutang demi menunjukkan eksistensi diri. Momentum mudik ini mencipta pasar akbar.

Kondisi musiman ini dapat diadopsi dengan mewujudkan aglomerasi, dengan proses transaksi yang lebih rutin. Kegiatan mudik yang sifatnya tahunan, dipercepat menjadi semesteran, triwulanan, bulanan, atau diwujudkan dalam harian dengan proses komuter.

Di berbagai negara, kondisi komuter juga lazim terjadi. Pada 2021, menurut catatan U.S Census ada sebanyak 7,7 persen pekerja Amerika melakukan komuter ke tempat kerja.

Sementara, catatan Eurostat di Eropa sebelum dimulainya krisis COVID, 61,3 persen orang melakukan komuter pada 2019. Hanya sebagian kecil yang tidak komuter.

Sehingga pekerja produktif tetap bisa tinggal di desa dan tetap bisa bekerja di kota sesuai lapangan usahanya.

Tak dirindukan

Sayangnya, jika peluang hidup di desa belum diungkap secara utuh. Kemajuan desa yang diungkap secara parsial, membuat penduduk usia produktif belum menjadikan desa sebagai pilihan untuk tinggal.

Peluang wisata desa dan produk unggulan memang cukup menarik perhatian, namun hanya untuk tinggal sementara, selepas itu kota tetap menjadi lokasi yang menarik untuk meningkatkan kesejahteraan.

Ilusi pun terus terjaga, desa sebagai gudangnya kemiskinan dan sumber tenaga kerja yang sebagian menjadi pengangguran di perkotaan.

Pemahaman umum yang terjaga, mayoritas penduduk desa masih hidup dalam kemiskinan dengan akses terbatas terhadap pendidikan, kesehatan, dan layanan dasar lainnya.

Bagi kota tujuan perantau menghasilkan masalah yang kompleks, meningkatnya pengangguran karena menunggu pekerjaan, angka kriminalitas yang tinggi.

Menciptakan situasi sosial yang penuh tekanan, membuat perantau merindukan kampung halaman, meski desa tetap saja belum dianggap sebagai lokasi yang dirindukan sebagai tempat tinggal.

Tersisa, desa tempatnya petani gurem, dijauhi oleh mimpi-mimpi masa depan, karena hanya menjadi pilihan terakhir memilih pekerjaan. Siklus ini akan terus terjadi, sampai saat pertanian diimpikan untuk menggapai masa depan. Entah kapan.

https://regional.kompas.com/read/2024/04/15/13452471/desa-yang-tak-dirindukan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke