Salin Artikel

Melihat Tradisi Maleman dan Dila Pajenang di Sumbawa, Saat Warga Mencari Lailatul Qadar di Akhir Ramadhan

SUMBAWA, KOMPAS.com - Sandrang Saleh (80), warga Dusun Lekong Atas, Desa Lekong, Kecamatan Alas Barat, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) mulai menyiapkan pajenang atau penerang yang diisi minyak tanah untuk menggelar tradisi sakral di akhir ramadhan 1445 H.

Saat ditemui di rumahnya Minggu (07/04/2024), Sandrang sedang menyiapkan aneka perlengkapan.

Setiap malam ganjil di bulan ramadhan, keluarga ini melaksanakan tradisi maleman.

Maleman adalah menyalakan dila pajenang yang terbuat dari sumbu berbahan bakar minyak tanah. Sandrang mulai meletakkan dila di depan rumah. 

Dila sendiri artinya pelita.

Usai menjalani sholat magrib nanti, ia akan menjaga dila agar tetap menyala.

Nantinya, Sandrang akan bergantian dengan istri dan anak-anaknya duduk di depan rumah dan menjaga dila agar tetap menyala.

“Iya, kebetulan hari ini malam ganjil. Tradisi maleman digelar saat 10 malam terakhir di bulan ramadhan. Tradisi maleman selalu kami lakukan tiap tahun,” kata Sandrang.

Menyalakan dila pajenang disebut sebagai tradisi maleman. Biasanya dilakukan pada 10 malam terakhir Ramadhan, terutama di malam ganjil. Sebab, umat Muslim meyakini Lailatul Qadar jatuh pada malam ganjil.

Sebagai tokoh agama di kampung ini, Sandrang percaya maleman membawa keberkahan dan pesan persaudaraan antar sesama.

Sebelum memulai meleman, Sandrang akan melaksanakan sholat taubat, dan memperbanyak sedekah.

Ia menjelaskan, acara maleman ini merupakan tradisi menyambut malam Lailatul Qadar.

Tradisi ini sudah dilakukan sejak ribuan tahun lalu oleh masyarakat muslim khususnya di Pulau Sumbawa.

Dia berkata, Dila pajenang memiliki filosofis dan makna tersendiri.

Dila diartikan sebagai penerang. Sebagaimana Alquran yang diturunkan pada malam Lailatul Qadar, yakni sebagai petunjuk bagi semua manusia di dunia.

"Dila artinya lampu yang terang. Jadi menyalakan dila ini untuk menerangi sesuatu yang gelap," jelasnya.

“Kalau sekarang maleman agar lebih mudah digunakan pajenang, jika dulu dengan dila jojor terbuat dari biji jarak,” imbuh Sandrang.

Maleman akan dilakukan sepanjang malam, dibarengi dengan ibadah sholat taraweh, sholat tahajud, sholat taubat, bertasbih dan bersalawat sepanjang malam.

“Saat maleman itu bukan sekedar menyalakan dila tapi diikuti dengan ibadah sepanjang malam,” kisahnya.

Kalau dulu, maleman manjadi momen yang ditunggu. Namun seiring perkembangan zaman, tradisi ini semakin ditinggalkan.

Bahkan, menurut Sandrang generasi muda sudah banyak yang mengetahui makna mendalam dari tradisi dila maleman karena diganti dengan lampu yang dialiri listrik.

Ia menyebut, tradisi maleman masih dilakukan sebagian masyarakat sebagai implementasi dari prinsip hidup yang disebut panca arif.

“Selain ibadah dan mencari Lailatul Qadar, ada makna hubungan antar manusia yang terjaga dalam tradisi maleman,” ujarnya.

Filosofi yang digaungkan adalah bagaimana menjaga hubungan antarmanusia.

Jika dulu setelah adzan magrib dan berbuka puasa, para ketua RT akan keliling kampung meminta kepada warganya agar segera menyalakan dila maleman.

Hal itu karena fungsi dila saat maleman dapat membantu penerangan jalan, khususnya jalan menuju masjid atau musala ketika masyarakat ingin beribadah atau iktikaf di malam-malam terakhir ramadhan.

"Karena dulu belum ada listrik atau lampu penerang saat malam hari. Inilah dia hablum minannas itu yang termanifestasi lewat tradisi maleman," ungkapnya.

Hal yang sama juga dilakukan keluarga Ibrahim (50), ketua RW di dusun yang sama dengan Sandrang. Ia menyalahkan dila jojor sebagai penerangan.

“Kami percaya, bahwa kelak di alam kubur saat semua gelap, cahaya dila dari tradisi maleman bisa menerangi kita,” kata Ibrahim.

Ia meyakini, dari tradisi maleman ini ada bentuk penghormatan dan penghargaan kepada alam dan manusia.

Cahaya dila dapat memberikan penerangan kepada lingkungan sekitar. Sebab pada zaman dahulu kondisi lingkungan sekitar masih sangat gelap karena tidak ada lampu.

Saleha (55) juga menyalakan dila untuk mengikuti tradisi maleman di depan rumahnya.

Menurunnya, ada makhluk lain yang diciptakan Tuhan, yang tidak bisa dilihat dipegang dan dirasakan keberadaannya.

Sebagai bentuk penghormatan kepada makhluk tersebut, Dila Jojor dipasang di setiap sudut rumah untuk memberikan penerangan.

"Secara mitologi masyarakat percaya makhluk gaib bertempat tinggal di pojok tertentu yang gelap sehingga diperlukan penerangan," sebutnya.

Namun, yang lebih penting dari esensi tradisi maleman bahwa masyarakat berharap bisa mendapatkan keberkahan malam seribu bulan yaitu Lailatul Qadar.

“Lailatul Qadar itu kita percaya dapat banyak keberkahan panjang umur, rezeki yang halal dan melimpah. Dan juga bisa terkabulnya doa dari apapun yang kita minta kepada Allah SWT,” pungkas Saleha.

https://regional.kompas.com/read/2024/04/07/180300578/melihat-tradisi-maleman-dan-dila-pajenang-di-sumbawa-saat-warga-mencari

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke