Salin Artikel

Harga Sembako Melambung Tinggi, Warga: Uang Rp 150.000 Buat Belanja Tak Ada Sisanya

Kenaikan ini, menurut ekonom, sangat menghantam kehidupan kelompok masyarakat miskin. Rata-rata 62% dari penghasilan mereka digunakan untuk membeli makanan sehari-hari.

Hal ini dirasakan oleh Astria, seorang warga Makassar, Sulawesi Selatan. Astria merasa bulan puasa tahun ini lebih berat dari tahun-tahun sebelumnya.

Dia dan keluarganya mengaku hanya bisa sahur dan berbuka dengan mi instan dan putih telur akibat harga pangan yang meningkat. Daging ayam dan daging sapi, katanya, adalah kemewahan yang sulit diperoleh.

Senada, Cucu Yumilah di Bandung, Jawa Barat mengaku Ramadan tahun ini lebih sulit dibanding tahun sebelumnya.

Uang sebesar Rp150.000 yang dibawa Cucu saat belanja hampir tidak tersisa, hanya untuk membeli beras tiga kilogram (kg), telur satu kg, sebungkus tahu, minyak goreng satu liter, bahan kolak, dan cabe merah.

Melambungnya harga pangan, menurut ekonom, disebabkan tata kelola niaga pangan yang bermasalah, perhelatan pemilu yang menyerap pasokan sembako dalam jumlah besar untuk kampanye, fenomena El Nino, serta permintaan yang meningkat selama bulan Ramadan.

Pemerintah pun melakukan beragam upaya untuk mengontrol kenaikan bahan pangan, mulai dari operasi pasar hingga menambah kapasitas impor.

Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa pemerintah telah mempersiapkan diri untuk menjaga ketersediaan bahan pokok pada bulan Ramadan dan menjelang hari raya Idulfitri.

Namun hingga kini harga pangan tidak kunjung turun.

Menurut data Badan Pangan Nasional (Bapanas), pada Kamis (14/03), harga beras premium dan medium berada di harga Rp16.460 dan Rp14.330 per liter. Angka itu meningkat lebih dari Rp3.000 jika dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya.

Bukan hanya beras, harga daging ayam juga melambung tinggi dari Rp33.890 pada Maret 2023, menjadi Rp38.660 pada Maret 2024.

Selain itu, harga kebutuhan pangan lainnya, seperti gula, daging sapi, telur ayam juga masih tinggi.

Astria dan keluarganya tinggal di sebuah rumah panggung, lorong belakang Gereja Toraja, Kecamatan Panakkukang.

"Mi saja sama telur, karena tidak sempat juga pergi ke pasar karena apa-apa mahal," kata Astria saat ditemui wartawan Darul Amri di Makassar yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rabu petang (13/03).

Astria mengaku Ramadan kali ini jauh lebih berat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

"Mi beli di warung. Telur dari kakak. Dia bikin kue jadi bawa pulang putih telurnya," sambung Astria yang merupakan orang tua tunggal.

Sehari-hari, Astria menjual camilan untuk anak-anak hingga manisan kedondong di depan rumahnya.

Pendapatannya kurang dari Rp1 juta per bulan.

Astria bercerita bahwa dia dan anak-anaknya lupa kapan terakhir kali makan ayam, apalagi daging sapi.

Dia mengaku hanya bisa mencicipi daging jika kakak atau orang dermawan yang memberinya.

"Saya tidak pernah makan [daging, ayam], belum pernah. Makan sahur [pertama] mi sama telur, [sahur] sama mama," katanya.

Hari kedua puasa, Astria tak ada rencana ke pasar untuk membeli makanan berbuka.

"[Dua hari puasa] pengeluaran sudah Rp50.000. Itu karena pas juga beli beras yang habis."

"Saya tidak dapatan bantuan [pemerintah] cuma dijamin KIS. Bantuan dua bulan di kantor lurah saya tidak dapat, tidak pernah, saya sudah ambil surat tidak mampu," tambah Astria.

Seorang ibu rumah tangga di Makassar, Andi Rahmawati (32 tahun) juga mengaku, kenaikan harga beras sangat berdampak ke kebutuhan pokok lainnya sehari-hari.

Rahmawati menyebutkan, selama ini dia membeli beras di harga Rp8.000 sampai Rp9.000 per liter.

Tapi, lanjutnya, dalam satu bulan terakhir harganya kini menyentuh Rp14.000 per liter

"Iya merasa [beras] mahal. Dulu saya beli lima sampai 10 kilogram, sekarang beli sedikit-sedikit saja," jelasnya.

Kenaikan harga kebutuhan pokok juga dirasakan oleh seorang pedagang ayam potong bernama Haji Kulle di di Pasar Panakkukang, Kota Makassar.

Selama 30 tahun menjual ayam potong, dia mengaku baru kali ini merasakan kenaikan harga daging ayam yang sangat tinggi.

"Sekarang harga ayam Rp55.000 sampai Rp60.000 per ekor," jelas Kulle dari rata-rata sebelumnya sekitar Rp40.000.

Kenaikan itu, katanya, membuat para pembeli pun menawar dengan ‘sadis’.

"Ada yang menawar sadis, karena dia ingat [tahu] waktu dulu [sebelum naik] tapi kan ini naik baru berapa hari."

"Ini tertinggi, kalau naik daging, sudah naik itu [susah] turun," ungkap Haji Kulle saat ditemui di pasar.

Selain itu, dia mengaku, pemasukannya juga menurun akibat melambungnya harga pangan.

"Biasa orang bisa beli dua ekor, sekarang satu ekor saja. Mahal barang-barang, beras mahal."

”Itu penjual nasi kuning [dulu] beli enam [ekor] tapi ini beli tiga, kadang-kadang, begitu. Selama mahal, turun [pemasukan] karena tidak seperti biasa," tambahnya.

Di hari ketiga Ramadan, Kamis (14/03), perempuan 44 tahun itu bergegas pergi ke Pasar Saeuran, pasar tradisional di Jalan Gatot Soebroto Kota Bandung, tak jauh dari lokasi tempat tinggalnya.

Beras di rumahnya telah habis dan lauk pauk untuk berbuka puasa nanti, belum tersedia.

Dengan berbekal uang Rp150.000 di dompetnya, Cucu berniat membeli beras sebanyak lima kg.

Namun beras yang dikiranya masih berharga Rp13.000 per kg dengan kualitas cukup baik, ternyata tidak ditemukan di pasaran. Ia hanya menemukan beras berharga Rp16.000 dengan kualitas yang menurutnya jelek.

Kenaikan harga juga terjadi pada telur yang tadinya Rp29.000 menjadi hingga Rp34.000 per kg.

Minyak goreng curah sebelumnya Rp10.000 kini Rp16.000 per liter.

Kenaikan harga yang cukup drastis terjadi pada cabe merah tanjung yang naik dari Rp30.000-an menjadi Rp120.000 per kg. Juga tomat yang naik dari harga Rp12.000 menjadi Rp25.000 per kg.

Menurut ibu satu anak itu, kenaikan harga di Ramadan tahun ini lebih parah dibanding tahun sebelumnya.

“Kalau dulu, kenaikannya juga tidak besar banget, tidak sampai 25%. Kalau sekarang dihitung-hitung sekitar 10-25% drastisnya. Kalau dulu sedikit naiknya, paling seribu. Kalau sekarang kan Rp2-3.000 dari beras saja. Itu baru dari beras, belum dari yang lain. Beras biasanya beli lima kilogram, sekarang 1-2 kilogram, diecer belinya."

"Parah banget kalau Ramadan sekarang,” keluh Cucu saat ditemui wartawan Yuli Saputra yang melaporkan ke BBC News Indonesia, di kediamannya, di Kota Bandung, Kamis.

‘Bawa uang Rp150.000 buat belanja enggak ada sisanya," katanya.

Sebelumnya, menurut Cucu, uang sebesar itu bisa membeli lebih banyak lagi bahan pokok.

Kenaikan harga yang terjadi, dicurigai Cucu tidak hanya disebabkan faktor cuaca atau meningkatnya kebutuhan di bulan Ramadan, tetapi akibat permainan politik yang melibatkan pengusaha.

“(Disebabkan) faktor cuaca, bisa jadi. Tapi, menurut saya, ada permainan politik, permainan pengusaha-pengusaha. Mereka main itu. (Apalagi) setelah pemilu (kenaikan harganya) parah-parah,” ungkap Cucu.

Ia berharap pemerintah segera berupaya menstabilkan harga terutama kebutuhan pokok karena sangat berdampak pada masyarakat kecil.

Cucu menyontohkan dirinya sebagai korban dari kenaikan harga tersebut dengan hilangnya mata pencaharian sebagai penjual makanan yang omset bulanannya bisa mencapai Rp2-3 juta per bulan.

Modal usahanya tidak mampu mengejar meroketnya harga-harga bahan baku dagangannya. Alhasil, Cucu berhenti jualan sejak bulan lalu lantaran kehabisan modal.

Kini, Cucu hanya mengandalkan penghasilan suami yang berprofesi sebagai supir sebesar Rp3,6 juta per bulan.

Bulan Ramadan semestinya membuat pedagang telur dan sembako seperti Helmina meraup untung. Namun yang terjadi, setiap hari omset penjualan perempuan 43 tahun itu menurun hingga 50% sebagai buntut dari kenaikan harga bahan pokok.

“Misalnya sehari dapat Rp4 juta, sekarang jadi Rp2 juta,” ucap Helmina.

“Ya sangat berpengaruh [kenaikan harga]. Kalau [naiknya] terlalu tinggi, pembelinya jadi kurang. Tadinya mau beli telur sekilo, jadi seperempat. Pembeli suka tanya dulu harganya. Disebutkan harganya, terlalu mahal. Mundur lagi enggak jadi beli. Itu yang bikin [pembeli] berkurang,” katanya.

Pedagang sayur mayur, Ai, juga merasakan hal yang sama. Terlebih lagi, hampir semua komoditas sayuran meningkat harganya.

Ai mengaku kehilangan omzet penjualan sebesar Rp1-2 juta per hari.

“Pembeli sama mengeluh ‘aduh mahal-mahal teuing.’ Kadang-kadang kalau beli maunya sekilo, jadi seperempat,” kata Ai.

Ai dan Helmina mengaku tidak tahu persis penyebab dari kenaikan harga yang tinggi. Mereka hanya mengikuti harga yang dipatok penyuplai.

Helmina sendiri tidak yakin kondisi tersebut disebabkan pengaruh cuaca buruk.

“Kita kurang tahu yah. Katanya pengaruh cuaca. Tapi, kalau cuacanya kurang bagus, pasti pasokannya berkurang.”

“Ini pasokannya masih ada. Cuma kalau dari bandarnya [harganya] naik, ya kita ikut naikan juga,” beber Helmina.

Beras premium, harga rata-rata nasionalnya adalah Rp16.460 per kg. Harga tertinggi sebesar Rp25.000 di Papua Pegunungan dan terendah Rp14.650 per kg di Aceh.

Harga beras premium ini masih di atas HET yang ditetapkan pemerintah, yaitu Rp14.900 per kg hingga Rp15.800 per kg, tergantung wilayahnya.

Harga beras ini juga meningkat hampir Rp3.000 jika dibandingkan Maret 2023 yang berada di angka Rp13.530.

Harga daging ayam ras juga melambung jauh lebih tinggi dari Rp33.890 pada Maret 2023, menjadi Rp38.660 pada 14 Maret 2024.

Harga daging ayam tertinggi di Papua Pegunungan sebesar Rp62.530 per kg dan terendah di Sulawesi Selatan Rp30.490.

BPS mencatat daging ayam ras pada pekan pertama Maret 2024 meningkat 4,34% dibandingkan bulan sebelumnya.

Kemudian harga telur juga masih berada di harga Rp31.890 per kg, meningkat lebih dari Rp3.000 jika dibandingkan Maret tahun sebelumnya.

Bahkan menurut BPS, wilayah kabupaten atau kota yang mengalami kenaikan harga telur ayam naik dari sebelumnya 229 menjadi 271 wilayah atau 69,44%.

Begitu juga dengan gula yang meningkat dari Rp14.380 menjadi Rp17.760.

Lalu, daging sapi murni kini berada di harga Rp135.120, naik tipis dari Rp134.700 pada Maret 2023.

Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, mengatakan kenaikan itu salah satunya disebabkan oleh fenomena El Nino sehingga masa panen mundur di tahun 2024 dan stok beras lokal menipis.

"Musim tanamnya bergeser, jadi harusnya kita Januari-Februari sudah panen raya, nah ini panen rayanya mundur kira-kira sekarang sudah tapi belum masuk panen raya kemungkinan April dan Mei jadi panen rayanya April dan Mei," katanya dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR secara virtual, Rabu (13/03).

Selain pengaruh cuaca tersebut, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyebut kenaikan harga beras juga disebabkan oleh menurunnya luas tanam padi dari 7,44 juta hektare menjadi 5,49 juta hektare pada Februari 2024.

Faktor lain yang mempengaruhi, tambah Amran, adalah turunnya volume pupuk subsidi sebesar 50% dari 9,55 juta ton menjadi 4,7 juta ton pada 2024.

Sehingga, katanya, produksi produksi beras pada Juni hingga Oktober 2024 dikhawatirkan tidak dapat memenuhi kebutuhan beras nasional.

Sementara itu, Kepala Badan Pangan Nasional, Arief Prasetyo Adi, mengatakan harga beras yang meroket salah satunya disebabkan karena harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani masih tinggi.

"Kemarin [harga GKP] sampai dekat-dekat Rp9.000, maka sulit harga beras untuk Rp13.900 seperti HET. Delapan bulan terakhir sampai Februari 2024, produksi versus konsumsi itu memang terus negatif," ujarnya dalam rapat kerja bersama Komisi IV di DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (13/03).

Arief meyakini harga GKP akan turun secara perlahan karena panen raya pada April mendatang.

"April pasti akan terkoreksi karena GKP akan terkoreksi. Kita harus jaga GKP tidak turun karena sebelumnya Rp8.600, Rp8.700, hari ini Rp7.200. Beberapa tempat angkanya sudah di bahwa, sekarang sudah Rp6.950," tambahnya.

Sepanjang Maret hingga April 2024, Bapanas memperkirakan akan terjadi panen raya gabah petani setara dengan 8,46 juta ton beras.

"Oleh karena itu pasar dibanjiri oleh Bulog juga beras SPHP [Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan] dan beras medium harganya dijamin pemerintah SPHP Rp11.000 kurang sedikit beras medium Rp 14.000 per kg," kata Mendag Zulkifli Hasan.

Baru-baru ini, Perum Bulog mengaku telah menyelesaikan kontrak impor sebanyak 300.000 ton dari Thailand dan Pakistan.

Padahal, beberapa waktu sebelumnya, pemerintah telah merealisasikan impor beras sebanyak 500.000 ton.

Artinya, hanya dalam tiga bulan terakhir, pemerintah telah mengimpor 800.000 ton, dari total kuota tahun 2024 sebanyak 3,6 juta ton.

BPS mencatat Indonesia mengimpor beras sebesar 3,06 juta ton pada tahun 2023.

Kini stok cadangan beras pemerintah (CBP) di Bulog per 7 Maret 2024 berjumlah 1.13 juta ton dan stok komersial sebanyak 14.559 ton.

Selain beras, Mendag Zulkifli mengaku, harga telur dan daging ayam juga mulai menurun.

Kenaikan komoditas yang disebabkan karena meningkatnya harga jagung itu kata Zulkifli berada di kisaran harga Rp 30.000-31.000 per kg untuk telur dan sekitar Rp 39.000 per kg untuk ayam.

Fakta ini kontras dengan penghargaan yang diterima Presiden Jokowi dari International Rice Research Institute (IRRI) karena Indonesia berhasil mencapai swasembada beras 2019-2021.

Pekan lalu, Presiden Joko Widodo mengatakan pemerintah telah mempersiapkan diri untuk menjaga ketersediaan bahan pokok jelan bulan Ramadan dan hari raya Idulfitri.

Jokowi mengatakan, seperti beras, stok cadangan pemerintah dalam kondisi aman, sedangkan komoditas lagi dia mengatakan akan melakukan pengecekan ke lapangan.

Selain itu, Kemendag juga meluncurkan Gerakan Pangan Murah (GPM).

“Masyarakat jangan khawatir bahwa kami dari pemerintah siap untuk peningkatan ketersediaan bahan pangan baik di pasar tradisional, pasar modern, maupun melalui Gerakan Pangan Murah yang dilaksanakan di seluruh kabupaten/kota dan provinsi,” jelas Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan Isy Karim, Senin (04/03).

Satuan Tugas Pangan Polri juga dikerahkan ke lapangan untuk memastikan ketersediaan pangan dan memantau kestabilan harga.

Di tengah beragam upaya yang dilakukan, faktanya hingga kini harga kebutuhan pokok masih tinggi.

Angka ini tiga kali lebih tinggi dari inflasi umum sekitar 2,75%, pada Februari 2024.

Kenaikan ini, kata Faisal, sangat berdampak bagi kehidupan masyarakat kelompok menengah hingga miskin.

Faisal, merujuk data Badan Pusat Statistika (BPS), menyebutkan bahwa dari 55 juta masyarakat miskin di Indonesia, rata-rata proporsi belanja untuk membeli pangan terhadap total pengeluaran mencapai 62%.

“Artinya lebih dari separuh pendapatan mereka dibelanja untuk pangan. Sehingga peningkatan seratus hinga seribu rupiah itu sangat mempengaruhi kehidupan kelompok miskin secara signifikan,” kata Faisal.

Senada, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, mengatakan kenaikan harga itu juga telah dan akan menggerus daya beli masyarakat.

Pendapatan mereka, tambahnya, akan digunakan semakin lebih banyak untuk membeli makanan.

Dampak lanjutannya, kata Esther, akan berimplikasi pada pelambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

“Karena pertumbuhan ekonomi di Indonesia, sekitar 53% didorong dari konsumsi rumah tangga, Dan itu juga menjadi salah satu indikasi upah riil kita juga lebih rendah,” katanya.

Upah Riil menggambarkan daya beli dari pendapatan yang diterima buruh dibagi dengan Indeks Harga Konsumen (IHK).

“Contoh kalau dari pendapatan Rp1 juta bisa lebih beras dan telur 10 kilogram, tapi karena harga lebih mahal dapatnya lebih sedikit. Artinya upah riilnya menurun,” kata Esther.

Caranya bisa melalui operasi pasar, menambah impor, hingga meningkatkan produksi.

“Kalau dilihat dari komoditi beras, sekitar April baru panen raya, dan sekarang masih awal Maret. Berarti kita tidak bisa mengandalkan produksi beras, mau tidak mau impor,” ujarnya.

Setelah pasokan mampu dijaga, kata Esther, pemerintah harus membenahi regulasi dan tata niaga dari bahan-bahan pangan yang bermasalah.

Tujuannya agar kejadian ini tidak terus berulang setiap tahun. Harga pangan bisa terkontrol walaupun ada dinamika peristiwa tahunan yang terjadi.

“Karena kalau di luar negeri itu, katakan yang saya tahu di Belanda, harga pangan relatif stabil, mau Natal atau Tahun Baru. Bahkan justru saat Natal banyak diskon. Itu karena pemerintahnya punya regulasi yang tegas,” katanya.

Esther mencontohkan dari sisi distribusi pangan. Menurutnya para pemain atau distributor pangan di Indonesia hanya dikuasai oleh segelintir orang yang pasti ada menyebabkan persaingan tidak sempurna.

“Contoh di beras. Pemerintah kalau mau beli harga gabah, misalnya Rp5.000, mereka berani beli Rp6.000, dan seterusnya.

"Kondisi ini tidak berubah dari kondisi berapa puluh tahun yang lalu sampai sekarang,” katanya.

Apalagi, menurut Faisal, Bulog paling banyak menyimpan 20% dari total cadangan beras. Selebihnya dikendalikan oleh swasta. Hal serupa juga terjadi di komoditas pangan lainnya.

https://regional.kompas.com/read/2024/03/16/051500078/harga-sembako-melambung-tinggi-warga--uang-rp-150.000-buat-belanja-tak-ada

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke