Salin Artikel

Dampak Kebakaran Merbabu, Salatiga dan Semarang Rawan Banjir

SALATIGA, KOMPAS.com - Dampak kebakaran di Gunung Merbabu yang terjadi pada Jumat (26/10/2023) mulai dirasakan masyarakat di kaki gunung tersebut.

Setiap kali hujan lebat, wilayah Kota Semarang dan beberapa wilayah di Kabupaten Semarang tergenang banjir.

Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Salatiga Roy Anjar mengatakan, pada Kamis (7/3/2024) kembali terjadi luapan di beberapa sungai yang berasal dari area Gunung Merbabu.

"Siang ini yang meluap di jembatan Sendangsari, Randuacir-Sugihwaras, serta Pamot-Randuacir (Kecamatan Argomulyo)," jelasnya.

Rabu (6/3/2024) kemarin, Jembatan Gabus di Salam Kelurahan Randuacir Kecamatan Argomulyo Kota Salatiga juga ambrol.

Dalam kejadian tersebut satu orang meninggal dunia dan dua orang mengalami luka. Tiga sepeda motor juga mengalami kerusakan.

Roy mengatakan, penyebab ambrolnya jembatan tersebut karena banjir dari kawasan Gunung Merbabu.

"Arus sangat deras dan membawa material, sehingga pondasi jembatan terkikis," kata dia.

Di Tengaran Kabupaten Semarang, banjir menghantam jalan di Dusun Kragilan Desa Regunung hingga memutus akses jalan pada Selasa (5/3/2024) sore. Kepala Dusun Kragilan Jupri mengatakan, saat kejadian di wilayahnya terjadi hujan deras.

Dampak akibat banjir tersebut, akses jalan ke rumah warga yang bernama Ribut Waidi terisolasi. Dua mobil dan lima sepeda motor tak bisa bergerak. Jalan di pinggiran sungai sepanjang kurang lebih 25 meter dengan lebar 4,5 meter dan ketinggian dari sungai sekira tujuh meter ambles tergerus air sungai.

"Jadi yang rusak itu jalannya, karena terkena air yang deras menggerus bagian bawah sehingga jalan menjadi ambles," ungkapnya.

"Karpet atau tutupan lahan pada lereng bekas kebakaran juga sudah semi kembali. Artinya pada permukaan tanah, relatif masalah sudah terselesaikan oleh alam," jelasnya.

Titi menambahkan, pada tingkat kedalaman tanah ada masalah yang belum selesai, yaitu berkurangnya kekuatan akar dalam mencengkeram tanah dengan banyaknya pohon mati.

"Air hujan tidak terserap ke dalam tanah, melainkan langsung melaju di atas permukaan, sehingga terjadi banjir atau banjir bandang," kata Titi.

Menurut Titi, ada area tanah dengan pohon bertunas muda, kekuatan mencengkeram tanah dan menyerap bulir air jauh berkurang. Hal ini karena metabolisme pohon sedang fokus pada pertumbuhan kembali daun dan kanopi pohon.

Gabungan berbagai kondisi tersebut menciptakan rongga dalam tanah dan struktur tanah melemah pada jalur yang dilalui air dalam debit besar.

"Ini memicu tanah longsor. Nutrisi yang berada di permukaan tanah berkurang, terbawa atau tergeser ke tempat lain. Tanah berpeluang menjadi kurang subur," ungkap Titi.

Menurut Titi, harus segera dilakukan penanaman tambal-sulam pada area kebakaran di Gunung Merbabu.

"Sementara solusi jangka pendek adalah menampung sebanyak mungkin air hujan sebagai antisipasi turunnya debit air di musim kemarau," kata dia.

"Ini juga untuk mencermati daerah banjir sebagai penanda area serapan atau penangkap air baru. Daerah tersebut bisa menjadi daerah berpotensi untuk melakukan penanaman dalam rangka konservasi pohon atau konservasi air secara kurang lebih instan dengan menanam bambu," paparnya.

Menurut Titi, bambu bisa menjadi alternatif solusi jangka pendek untuk konservasi udara, air, tanah yang memengaruhi terbentuknya iklim mikro.

"Selain itu juga penahan terbaik dari angin besar, udara panas dan tanah longsor. Dalam konteks lereng Gunung Merbabu tentunya bambu termasuk dalam tanaman lokal setempat," jelasnya.

https://regional.kompas.com/read/2024/03/07/173911878/dampak-kebakaran-merbabu-salatiga-dan-semarang-rawan-banjir

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke