Salin Artikel

Buaya Program Rehabilitasi Saling Bantai, Kendala di Kawasan Pelepasan

"Kalau kanibal mungkin tidak, tapi buaya saling bantai karena kandang rehab yang terbatas," kata Koordinator Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Alobi Bangka Belitung, Langkasani, seusai diskusi publik di Pangkalpinang, Rabu (28/2/2024).

Langkasani menuturkan, kandang rehab yang tersedia saat ini berukuran 50x50 meter yang dibangun tanpa sekat.

Satu-satunya sekat ada pada pintu masuk untuk karantina sebelum masuk kandang.

"Buaya dari berbagai daerah terus masuk dengan berbagai ukuran. Ada yang tiga meter, dua meter dan satu meter sehingga akhirnya penuh," ujar Langkasani.

Menurut Langkasani, buaya di Bangka Belitung termasuk jenis buaya muara air asin yang dikenal dengan nama latin crocodylus porosus.

Buaya ini bersifat teritori atau memertahankan wilayah mereka dari hewan sejenis lainnya.

Hal itu juga yang diduga menjadi penyebab buaya saling bantai saat digabung dalam kandang yang tidak begitu luas.

"Solusi jangka pendek, dibutuhkan kandang rehab tambahan di lokasi yang sama. Ini perlu koordinasi dengan pihak terkait seperti BKSDA," beber Langkasani.

Tahapan untuk melepasliarkan buaya di Bangka belum dilakukan sejak enam tahun terakhir. Sebab belum ada jaminan wilayah dilindungi yang bebas dari jamahan manusia.

"Pernah kita lakukan di Padang Sugihan, Sumatera Selatan, tapi lokasinya jauh dari sini, butuh biaya besar."

"Untuk di Bangka ini perlu komitmen dari pemerintah daerah, masyarakat dan BKSDA, menentukan lokasinya yang memang terlindungi," ujar Langkasani.

Langkasani mengkhawatirkan, buaya yang berkonflik dengan manusia tak akan bisa diselamatkan jika fasilitas rehabilitasi dan kawasan pelepasliaran tidak disediakan secepatnya.

"Masyarakat akan membunuh buaya yang berkonflik dengan mereka, bahkan penangkapannya sangat membahayakan satwa karena menggunakan pancing. Sementara untuk menampungnya bagaimana," ucap Langkasani.

Sementara itu, Peneliti Garda Animalia, Bayu Nanda mengatakan, kandang rehabilitasi buaya di Bangka kondisinya tak lagi memadai.

"Dari sekitar 36 ekor, kemudian saat air surut ditemukan belasan ekor yang tersisa."

"Ini tentunya perlu jadi perhatian, mengingat banyaknya kasus konflik buaya dan manusia di Bangka Belitung," ungkap Nanda.

Pemerintah, kata Nanda perlu mencari solusi atas konflik yang terjadi karena sebagiannya berakibat fatal berupa kematian.

"Solusi yang kami sebut, membagi muara untuk buaya dan manusia," cetus Nanda.

Dari riset Garda Animalia, banyak kasus serangan buaya yang tidak terekspos dan dilaporkan.

"Dari data yang kami dapat, Indonesia peringkat pertama dunia dalam konflik buaya dan manusia, selanjutnya ada Malaysia dan India," beber Nanda.

Bangka Belitung ada di peringkat tiga dengan 73 kasus, setelah Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Timur yang masing-masing 104 dan 83 kasus.

https://regional.kompas.com/read/2024/02/28/220805278/buaya-program-rehabilitasi-saling-bantai-kendala-di-kawasan-pelepasan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke