Salin Artikel

6 Tradisi Menyambut Ramadan di Jawa Tengah, Ada Dugderan

KOMPAS.com -Ada sejumlah tradisi yang biasa dilakukan masyarakat Jawa Tengah, dalam menyambut Ramadan.

Tradisi menyambut Ramadan di Jawa Tengah telah dilakukan secara turun temurun hingga sekarang.

Tradisi tersebut biasanya berlangsung meriah dan selalu ditunggu-tunggu oleh masyarakat.

Berikut ini adalah sejumlah tradisi menyambut Ramadan di Jawa Tengah.

Tradisi Menyambut Ramadan di Jawa Tengah

1. Dugderan, Semarang

Dugderan adalah tradisi perayaan menyambut bulan Ramadan oleh umat Islam di Semarang, Jawa Tengah. Tradisi Dugderan diselenggarakan setiap tahun.

Pada awalnya, tradisi dugderan dilakukan oleh pemerintah untuk menyamakan penentuan awal puasa dan hari raya.

Tradisi dugderan juga sebagai ungkapan rasa rindu masyarakat terhadap bulan Ramadan.

Pelaksanaan tradisi dugderan dilakukan sejak pagi hingga menjelang senja, yaitu sekitar pukul 08.00 WIB hingga Magrib.

Tradisi diawali dengan pasar kaget dilanjutkan dengan karnaval, seperti warak ngendog yang diikuti arak-arakan mobil.

Warak ngendog adalah binatang rekaan bertubuh kambing, berkepala naga, dan sisiknya terbuat dari kertas warna-warni.

Binatang rekaan tersebut dilengkapi dengan telur rebus yang disebut endog.

Acara dilanjutkan dengan halaqah mengenai pengumuman awal mulai puasa yang dengan ditandai oleh pemukulan bedug.

Kemudian tradisi diakhiri dengan pembacaan doa bersama-sama.

Dugderan telah dilakukan sejak tahun 1881 M. Menurut cerita, pada zaman dahulu umat Islam memiliki perbedaan penentuan terkait permulaan puasa.

Tradisi nyadran biasanya dilakukan oleh masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta menjelang Ramadan, tepatnya bulan Sya'ban.

Budaya yang telah dilakukan ratusan tahun ini, antara lain berupa membersihkan makam leluhur maupun orang tua, membuat dan membagikan makanan tradisional, dan berdoa serta selamatan di sekitar area makam.

Dalam kalender Jawa, bulan ramadan disebut juga sebagai bulan Ruwah. Sehingga, tradisi nyadran juga dikenal sebagai acara Ruwah.

Tradisi nyadran merupakan hal yang penting untuk masyarakat jawa.

Para pewaris tradisi nyadaran akan menjadikan tradisi sebagai momentum untuk menghormati leluhur dan ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta.

Nyadran biasanya dilakukan sekitar satu bulan sebelum puasa atau pada tanggal 15,20, dan 23 Ruwah.

Padusan adalah tradisi menyambut ramadan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Tradisi yang telah berlangsung secara turun-temurun ini dilakukan dengan cara berendam atau mandi di sumur-sumur maupun sumber mata air.

Makna padusan adalah menyucikan diri serta membersihkan jiwa dan raga dalam menyambut datangnya bulan Ramadan.

Dalam makna yang lebih dalam, padusan juga sebagai media untuk merenung dan instropeksi dari berbagai kesalahan yang telah diperbuat pada masa lalu.

Dhandhangan adalah festival sebagai tanda dimulainya ibadah puasa pada bulan Ramadan di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.

Kata dhandhangan adalah onomatope atau tiruan bunyi dari suara bedug khas Masjid Manara Kudus. Resonansi bedug tersebut menimbulkan bunyi nyaring, Dang!.

Bunyi bedug menjadi awal datangnya bulan puasa yang kemudian disebut Dhandhangan.

Pada awalnya, dhandhangan merupakan tempat berkumpulnya para santri di depan Masjid Menara Kudus setiap menjelang ramadan.

Mereka menunggu pengumuman dari Sunan Kudus mengenai penentuan awal puasa.

Rangkaian tradisi dhandhangan yang biasa dilakukan, adalah pasar malam yang digelar sepuluh hari menjelang ramadan, kirab, dan puncaknya adalah memukul bedug Masjid Menara Kudus sebagai tanda awal bulan puasa.

Arwah jamak adalah tradisi pembacaan doa untuk orag tua, sanak saudara, dan leluhur yang telah meninggal dunia.

Doa tersebut dibacakan menjelang datangnya bulan Ramadan maupun sepuluh hari terakhir pada malam ganjil di bulan puasa ramadan.

Baratan adalah tradisi masyarakat Jepara yang berupa arak-arakan lampion setiap 15 Sya'ban atau 15 hari sebelum puasa Ramadan.

Tradisi baratan berkaitan dengan peristiwa pembunuhan Sultan Hadirin, suami Ratu Kalinyamat, yang dilakukan oleh Aryo Panangsang.

Konon pada saat menyambut iring-iring rombongan yang membawa jenazah Sultan Hadirin.

Masyarakat membawa impes atau lampion sepanjang perjalanan sebagai penghormatan. Peristiwa tersebut bertepatan dengan Nisfu Sya'ban.

Adapun kata 'baratan' berasal dari sebuah kata bahasa Arab, yaitu "bara'ah" yang berarti keselmatan atau "berkah" yang berarti keberkahan.

Tradisi baratan dilakukan setiap tanggal 15 ruwah (kalender Jawa) yang bertepatan dengan malam Nisfu Sya'ban.

Sebelum pawai, masyarakat akan membaca surat yasin sebanyak tiga kali dan membaca do'a Nisfu Sya'ban yang dipimpin oleh ulama atau kyai di masjid atau mushola.

Kemudian, acara dilanjutkan dengan makan (bancaan) puli (makanan yang terbuat dari beras) bersama-sama dan melepas arak-arakan.

Penulis: Ulfa Arieza, Widodo | Editor: Anggara Wikan Prasetya

Sumber:

gayamsari.semarangkota.go.id

menpan.go.id

travel.kompas.com

warisanbudaya.kemdikbud.go.id

regional.kompas.com

https://regional.kompas.com/read/2024/02/22/200318578/6-tradisi-menyambut-ramadan-di-jawa-tengah-ada-dugderan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke