Salin Artikel

Wajah Toleransi dalam Sepotong Makanan di Pecinan Semarang

SEMARANG, KOMPAS.com - Perayaan Tahun Baru Imlek 2575 Kongzili di Kawasan Pecinan Semarang, Jawa Tengah (Jateng), meriah.

Setidaknya 500 lampion mewarnai penyambutan Tahun Naga Kayu tersebut.

Tampak gerbang masuk Pecinan dipercantik. Sederet lampion menambah kemeriahan ketika memasuki Gang Warung sampai Gang Baru.

Lampion-lampion terpasang menggantung menambah semarak Imlek yang dirayakan hari ini.

Selain mempunyai sejarah panjang, warga Tionghoa di Kota Semarang juga melahirkan tradisi yang kental akan toleransi.

Setiap menjelang Imlek, warga Pecinan Semarang mengadakan tradisi "Tuk Panjang". Tuk Panjang merupakan gambaran toleransi warga Tionghoa di Pecinan Semarang.

Tradisi tersebut tak hanya diikuti warga Tionghoa, warga non-Tionghoa juga mengikutinya.

Dalam acara tersebut, berbagai hidangan disuguhkan seperti kue keranjang kukus santan yang melambangkan harapan tutur kata yang baik.

Ada pula nasi hainan, tujuh macam sayur hijau, yang masing-masing punya lambang dan harapan baik.

Serta berbagai menu lain seperti lumpia dan aneka makanan sebagai wujud akulturasi budaya.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Semarang, R Wing Wiyarso menambahkan, jika prosesi Tuk Panjang ini rutin dilakukan di Kawasan Pecinan untuk menyambut tahun baru Imlek.

Menurutnya, tradisi tersebut selalu ditunggu-tunggu masyarakat karena penyelenggaraannya selalu meriah dengan dihadiri banyak perwakilan masyarakat.

"Ini ada filosofinya, makan bersama yang mewujudkan kerukunan umat beragama karena ada berbagai macam etnis yang ikut memeriahkan," kata Wing, Sabtu (10/2/2024).

Menurutnya, akulturasi budaya ini sebenarnya melekat di Kota Semarang dan sebagai kekuatan Ibu Kota Jateng dari segi pariwisata dan lainnya.

"Akulturasi budaya, harapannya menjadi semangat menjaga toleransi di kota ini," bebernya.

Sementara itu, Ketua Komunitas Pecinan Semarang Untuk Pariwisata (Kopi Semawis), Haryanto Halim menjelaskan, tradisi Tok Panjang merupakan bentuk keharmonisan dan kerukunan antar-umat beragama di Pecinan.

"Ini coba diangkat ke jalan sebagai wujudkan keharmonisan dan kerukunan," ujar Halim.

Tradisi Tok Panjang biasanya dilakukan orang Tionghoa di rumah orang paling tua.

Namun, di Pecinan Semarang berbeda karena tak hanya orang Tionghoa yang merayakannya.

"Karena keluarga yang datang banyak, akhirnya banyak meja yang disusun memanjang," kata dia.

Altar Gus Dur

Gedung Perkumpulan Sosial Boen Hian Tong atau Rasa Dharma terdapat altar Presiden Ke-4 Indonesia Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Peletakan altar Gus Dur di Pecinan bukan tanpa sebab. Gus Dur dinilai berjasa bagi warga Tionghoa Indonesia.

Pengurus Yayasan Rasa Dharma, WS Andi Gunawan mengatakan, warga Tionghoa merasa terbantu saat Gus Dur menjadi Presiden Indonesia.

"Jasa Gus Dur untuk warga Tionghoa begitu besar," jelasnya kepada Kompas.com.

Dia menjelaskan, altar Gus Dur sengaja diletakan di Gedung Rasa Dharma untuk menghormati arwah para leluhur termasuk arwah mendiang Gus Dur.

"Jadi ini diletakkan di sini sebagai wujud penghormatan,” katanya.

Tak hanya meletakkan altar, warga Tionghoa juga mengadakan doa bersama untuk arwah Gus Dur ketika menjelang Hari Imlek dan saat haul Gus Dur.

"Kalau berdoa untuk Gus Dur dan haul itu rutin tahunan," imbuh Andi.

Menurutnya, hanya Gedung Rasa Dharma Pecinan, Kota Semarang, yang ada papan arwah atau altar Gus Dur di Indonesia.

Bentuk altar Gus Dur juga dibuat dengan filosofi dan bentuk altar sesuai dengan anjuran Gus Mus yang merupakan sahabat Gus Dur.

Untuk menghormati Gus Dur dan warga muslim, menu makanan sajian altar yang biasanya daging babi diganti dengan daging kambing.

"Biasanya ada tiga sajian seperti daging ikan, ayam, dan babi. Namun untuk babi diganti dengan daging kambing," ungkapnya.

Selain daging babi, warga Tionghoa di Rasa Dharma juga tidak menyajikan daging sapi. Hal ini mengingat ada kalangan warga yang tidak memakan sapi.

"Inilah contoh keberagaman dan toleransi,"ujarnya.

Dia menambahkan, ketika Imlek warga Tionghoa juga mengadakan acara basuh kaki orangtua yang diadakan di Gedung Rasa Dharma.

"Acara ini tahunan setiap menjelang Imlek sebagai simbol penghormatan kepada orangtua," imbuhnya.

Pemerhati Sejarah Kota Semarang, Johanes Christiono mengatakan, sebelum di Pecinan, dulunya warga Tionghoa banyak yang berada di kawasan Sam Poo Kong.

"Pecinan yang membentuk Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)," jelasnya kepada kompas.com, Kamis (8/2/2024).

Setelah melakukan perlawanan, warga Tionghoa dipindahkan ke pinggiran Kali Semarang yang saat itu dekat dengan pusat Kota Semarang (Kota Lama saat ini).

"Jadi di situ ada benteng. Sementara orang Cina ini di luar benteng. Tujuannya agar mudah diawasi," kata dia.

Berdasarkan buku "Riwayat Kota Lama Semarang" sekitar abad ke -18, VOC mulai mengharuskan orang-orang Tionghoa di Semarang bermukim di suatu wilayah.

Chinezen Kamp atau Kawasan Pecinan yang saat ini berada di Kecamatan Semarang Barat itu dipilih VOC sebagai permukiman warga Cina.

Pembuatan permukiman Pecinan tersebut dibangun pasca-berakhirnya Perang Semarang pada 1741.

Tionghoa dan Jawa melawan VOC

Perang Semarang merupakan konflik bersenjata yang melibatkan VOC di satu pihak melawan orang-orang Tionghoa dan Jawa di pihak lain.

Perang tersebut sebagai kelanjutan dari peristiwa pembantaian orang-orang Tionghoa di Batavia tahun 1740.

Warga Tionghoa yang berhasil lolos dari pembantaian tersebut, sebagian melarikan diri ke Jawa Tengah dan mengobarkan perlawanan kepada VOC di daerah.

Saat itu, warga Tionghoa yang melakukan perlawanan juga didukung penguasa Jawa dari Kartasura.

Dalam perkembangannya, pemerintah kolonial Belanda menetapkan warga Tionghoa di kawasan Pecinan melalui peraturan wijkenstelsel yang mengharuskan orang Tionghoa tinggal di lokasi khusus.

Peraturan itu berlaku mulai tahun 1835 hingga 1915. Tak cukup dengan wijkenstelsel, pemerintah kolonial juga menerapkan peraturan passenstelsel.

Dalam peraturan tersebut warga Tionghoa wajib membuat surat izin jika akan bepergian ke luar wilayah Pecinan. Peraturan tersebut berlaku sejak 1835 hingga 1906.

Sebagai sebuah permukiman, Pecinan juga dilengkapi fasilitas penduduk seperti akses jalan, pasar, dan tempat ibadah.

Sebagai penganut Konghucu, Buddha, dan Taoisme, orang-orang Tionghoa di Pecinan banyak membangun kelenteng.

Sioe Hok Bio merupakan kelenteng pertama yang dibangun di Pecinan Semarang. Kelenteng tersebut dibangun pada 1753. Kemudian disusul Kelenteng Tek Hay Bio pada 1756 dan Tay Kak Sie pada 1771.

Ketua Yayasan Klenteng Sioe Hok Bio, Lie Gei Hong (73) mengatakan, keberadaan Klenteng Sioe Hok Bio menjadi pertanda keberadaan warga Tionghoa di Pecinan.

"Sebelumnya orang Cina itu ada di Kawasan Sam Poo Kong (Gedung Batu)," jelasnya saat ditemui kompas.com di Klenteng Sioe Hok Bio.

Berdasarkan arsip yang dia peroleh, keberadaan Klenteng Sioe Hok Bio di Pecinan Semarang juga ada campur tangan Oei Tjie Sien.

Bagi warga Semarang, nama Oei Tjie Sien sudah tak asing. Oei Tjie Sien merupakan ayah Oei Tiong Ham yang dijuluki sang 'Raja Gula' terbesar di Dunia.

"Yang bawa patung dewa ke Klenteng Sioe Hok Bio itu Oei Tjie Sien," kata dia.

Oei Tjie Sien membawa patung dewa menggunakan perahu dari Cina ke Kota Semarang.

"Beliau bawa Dewa Bumi dari Cina ke sini pakai kapal," ucap Lie menceritakan.

Sejak pertama kali berdiri, klenteng tersebut berukuran tidak terlalu besar. Luasan bangunannya hanya sekitar 9×25 meter.

Saat ini klenteng Sioe Hok Bio diapit ruko besar dan masuk ke dalam cagar budaya. Bentuk bangunan tidak banyak berubah walaupun ada beberapa yang sudah direnovasi.

"Yang sering direnovasi bagian lantai, sudah tiga kali. Sebelum pakai granit Italia dulu lantainya itu pasir semen warna merah," kenangnya.

https://regional.kompas.com/read/2024/02/10/164738178/wajah-toleransi-dalam-sepotong-makanan-di-pecinan-semarang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke