Salin Artikel

Kisah Chandra, Perajin Barongsai di Semarang yang Kebanjiran Pesanan Jelang Imlek

Tak heran, jika perajin barongsai di Semarang mulai kebanjiran pesanan menjelang Imlek pada 10 Februari 2024 mendatang.

Hal tersebut diakui oleh perajin barongsai di Semarang, Chandra Wiro Utomo.

Terletak di Jalan Hiri III, Nomor 6, Kelurahan Karangtempel, Kota Semarang itulah, Chandra, sapaan akrabnya, memproduksi puluhan barongsai untuk perayaan Imlek 2024.

Dirinya menyebut, pesanan barongsai pada tahun ini mengalami peningkatan yang pesat. Bahkan, hingga saat ini Chandra sudah menggarap 40 barongsai dan 20 naga.

"Bisa dibilang naik 100 persen, rata-rata sudah booking 4 bulan lalu. Jadi saya dari Oktober mulai fokus ngerjain untuk Imlek. Setiap tahunnya begitu," ucap Chandra kepada Kompas.com, Jumat (2/2/2024).

Lebih jelas Chandra mengatakan, pesanan barongsai dan naga itu berasal dari hampir seluruh wilayah di Indonesia, seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Kalimantan, Makassar, dan masih banyak lagi.

Uniknya, barongsai dan naga karya Chandra itu dijual dengan harga Rp 4 juta hingga puluhan juta rupiah.

"Kita ada dua jenis bulu yang dipakai, kalau pakai sintetis Rp 4 juta. Kalau bulu domba asli Rp 6 juta. Kalau naga mulai dari Rp 8 jutaan, tergantung bahan dan panjang," tutur Chandra.

Sementara itu, Chandra mengatakan, ada sejumlah step atau tahapan yang dilakukan untuk membuat barongsai.

Pertama, membuat pola atau rangka barongsai menggunakan rotan. Lantas dilukis menggunakan cat, dan dipasang bulu.

Tentunya, proses pembuatan barongsai membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Dirinya mengaku  perlu menghabiskan sekitar 3-4 hari hanya untuk proses membuat rangka.

"Sekarang mewarnai diuntungkan perkembangan zaman, menggunakan cat air. Kalau zaman dulu 2005, saya belajar ngecat 3 hari baru selesai. Sekarang sehari bisa," ucap dia.

Di samping itu, Chandra menyebut, dirinya merupakan generasi ketiga yang meneruskan usaha kerajinan barongsai ini.

Awalnya, kakek Chandra berprofesi sebagai perajin barongsai pada 1980-an. Lantas usaha tersebut diturunkan kepada ayahnya.

"Kalau saya mulai dari tahun 2005 bantu Papa, terus 2014 mulai nerusan lagi. Dari kecil emang sudah melihat, ikut belajar," kata dia.

Menurut Chandra, barongsai memiliki nilai filosofis yang baik bagi masyarakat Tionghoa. Yaitu sebagai hewan simbolis yang dinilai bisa menolak bala atau menolak bencana.

Chandra menyebut, dulunya petani Tiongkok kerap mengalami gagal panen lantaran diganggu oleh hewan bernama 'Nian' yang berarti monster.

"Karena sering gagal panen, akhirnya petani cari cara gimana cara mengusir monster. Akhirnya mereka bikin model semacam singa atau barongsai ini dan disetel musik keras. Ternyata Nian itu takut dengan barongsai. Maka barongsai dinilai bisa menolak bala," ungkap Chandra.

Dirinya berharap barongsai akan terus berkembang dan dapat dilestarikan masyarakat Indonesia.

"Sekarang barongsai sudah dipertandingkan dan resmi menjadi cabang olahraga (cabor). Jadi semakin senang, karena tidak membatasi suatu agama atau kaum tertentu untuk mengenal barongsai," pungkas dia.

https://regional.kompas.com/read/2024/02/03/090000178/kisah-chandra-perajin-barongsai-di-semarang-yang-kebanjiran-pesanan-jelang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke