Salin Artikel

Indonesia Diminta Waspadai Propaganda Partisipatif di Era Digital

KOMPAS.com - Sebagai negara dengan pengguna media sosial terbesar di Asia Tenggara, Indonesia diminta mewaspadai strategi propaganda partisipatif di era digital.

Pasalnya, strategi propaganda di era digital tidak lagi menekankan pada pendekatan top-down yang tepusat dari pembuat propaganda, namun berfokus untuk menggerakkan partisipasi audiens.

"Akibat strategi ini banyak dari pembuat konten yang tidak sengaja menjadi fake news entrepreneur (pengusaha berita palsu) atau menjadi bagian dari ekosistem propaganda digital,” ujar peneliti Monash University Indonesia, Ika Idris dalam rilisnya, Minggu (21//1/2024).

Ika mengungkapkan, strategi propaganda partisipasi ini terjadi saat Pemilu Pesiden Amerika Serikat 2016 silam. Di mana banyak organisasi media, partisan media, ataupun konten creator menyebarkan pesan dengan judul click bait, dan meneguhkan polarisasi politik.

Di Indonesia, strategi ini jelas terlihat pada propaganda invasi Rusia ke Ukraina.

Menurutnya, banyak jaringan penyebar propaganda Rusia di media sosial yang menyebarkan materi-materi secara massif, cepat, berulang, dan disampaikan melalui berbagai platform.

Fitur platform media sosial yang memungkinkan audiens dan kreator untuk berinteraksi dan bermain-main dengan konten, misalnya melalui meme, sticker atau stich, membuat audiens tidak selalu sadar dengan disinformasi yang disampaikan.

“Pada kasus penyebaran disinformasi invasi Rusia ke Ukraina, banyak konten kreator yang sebenarnya tidak sadar mereka turut menyebarkan propaganda. Mereka awalnya mengangkat isu itu karena ternyata engagement-nya tinggi. Akhirnya keterusan membuat konten, dan akhirnya terlibat aktif dalam ekosistem propaganda digital,” tegas Ika.

Co-director Data & Democracy Research Hub, Monash University Indonesia ini menambahkan, di masa kampanye pemilu Indonesia tahun ini, para politisi juga berupaya keras agar masyarakat terlibat aktif menjadi agen-agen propaganda politik mereka.

Strategi propaganda di era digital, tidak lagi hanya pada strategi pesan.

Pada propaganda gaya lama, sambung Ika, ada upaya membuat sebuah pesan menjadi viral yang memanfaatkan pasukan media sosial, bots, trolling, menargetkan ceruk audiens di level mikro atau sangat spesifik, ataupun memanipulasi algoritma.

Penelitian tersebut telah dibukukan dalam judul Misguided Democracy in Malaysia and Indonesia: Digital Propaganda in Southeast Asia yang ditulis Ika dan dosen Oklahoma State University, Nuurianti Jalli.

Nuurianti menambahkan, propagandis telah menyesatkan kehidupan demokrasi di kedua negara. Demokrasi, sepatutnya menekankan pada kebebasan warga negara memilih, dari hasil pemikiran mereka.

Namun narasi-narasi yang ada di warga sebenarnya adalah narasi yang sudah dimanipulasi atau diarahkan oleh propagandis.

“Kami lihat demokrasi di Indonesia dan Malaysia sudah “misguided”, atau salah arah, karena jadi disetir oleh pemerintah yang menjadi semakin otoriter,” tegas Nuurrianti.

Sementara itu, peneliti departemen politik CSIS Noory Okthariza mengungkapkan, propaganda digital di Asia Tenggara masih belum banyak yang membahas kesamaan dan perbedaanya.

Padahal, Indonesia dan Malaysia sama-sama adalah negara muslim terbesar di dunia. Ada narasi-narasi yang sama, seperti misalnya pada isu geopolitik Palestina dan Israel, China, dan Halal.

“Di tahun politik ini sebenarnya menarik untuk dicermati bagaimana efek dari propaganda ini pada kelompok gen-z yang sebenarnya lebih banyak tersebar di daerah dan kelompok pendidikan menengah ke bawah,” ujar Oktha.

https://regional.kompas.com/read/2024/01/22/052300178/indonesia-diminta-waspadai-propaganda-partisipatif-di-era-digital

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke