Salin Artikel

Kisah Suroso, 38 Tahun Berjualan Kopi Giling Tradisional di Tepi Jalan Kota Semarang

Siapa sangka, di balik menjamurnya kedai kopi di Kota Lumpia ini, masih tersisa sejumlah penjual kopi giling tradisional yang bertahan. Salah satunya Suroso.

Senyum rekah terpancar dari wajah laki-laki paruh baya itu. Teriknya matahari di Kota Semarang siang itu, seolah tak menghalangi semangat Suroso dalam menjajakan kopi giling buatannya.

Berbekal gerobak kayu dan beberapa kaleng kopi di atasnya, Suroso tampak semangat menawarkan kopi giling demi menyambung hidup.

Setiap hari, dirinya menjual kopi di pinggir jalan, tepatnya di sebelah Jembatan Mrican, Jalan Tentara Pelajar, Jomblang, Kecamatan Candisari, Kota Semarang.

Suroso menyebut, dirinya sudah berjualan kopi giling sejak 38 tahun lalu, tepatnya sekitar tahun 1985.

"Setelah lulus SMP, waktu itu kan ada penyakit jadi tidak bisa lanjut sekolah. Lalu dibelikan alat sama kakak saya, dibiayai dikasih semua modalnya," ucap Suroso kepada Kompas.com, Kamis (2/11/2023).

Lebih jelas Suroso mengatakan, alat giling kopi yang digunakannya itu dulunya diperoleh dari Pasar Peterongan.

Alat giling tersebut merupakan alat peninggalan Belanda yang usianya lebih dari satu abad.

Tak heran, jika saat ini alat untuk menggiling kopi itu kerap mendapati beberapa kendala saat digunakan.

"Bawa peralatan obeng juga, buat benerin alat giling pas rusak. Ini timbangannya juga kuno, masih peninggalan dari kakak, pokoknya masih tradisional semua," tutur dia.

Saat berjualan, Suroso menawarkan tiga jenis kopi. Di antaranya, robusta, arabica, dan kopi lanang. Harga yang dipasang pun juga terjangkau.

Mulai dari Rp 6.000 hingga Rp 16.000 per ons.

Untuk menggiling satu ons kopi, Suroso membutuhkan waktu sekitar 2 hingga 3 menit. Sehingga, saat banyak pelanggan datang, kerap menimbulkan antrean yang panjang.

"Kalau saya seringnya baru menggiling saat ada pesanan. Dari situ mereka tahu kalau kopi ini asli, yang baru melewati proses giling kopi," ungkap dia.

Suroso bercerita dirinya berjualan setiap hari pada pukul 08.00 hingga 12.30 WIB. Dalam satu hari, Suroso bisa menghabiskan 1 hingga 2 kilogram kopi.

Kendati demikian, dirinya mengaku, bahwa omzet yang diterima tidak menentu dan tidak dapat dipastikan.

"Kadang kalau pas laku, ya laku banget. Kadang tidak, ada yang belinya cuma setengah ons, tapi yang beli sampai satu kilogram ya ada," ujar laki-laki asal Semarang itu.

Menurut Suroso, kehadiran media sosial sangat berpengaruh terhadap hasil penjualannya.

Pasalnya, dia mengaku, banyak pelanggan yang datang ke lapak miliknya lantaran melihat video viral yang mengunggah aktivitas Suroso berjualan kopi di media sosial.

"Udah lama jualan di sini, tapi akhir-akhir ini baru ramai banget. Mungkin dulunya tidak tau kalau ini jualan kopi," ucap dia.

Hebatnya, hasil penjualan kopi yang dibangun sejak puluhan tahun itu dapat menguliahkan anak semata wayangnya di salah satu universitas di Kota Semarang.

"Ya semoga ke depan semakin banyak orang yang tau kalau di sini jualan kopi," pungkas dia.

https://regional.kompas.com/read/2023/11/02/171000178/kisah-suroso-38-tahun-berjualan-kopi-giling-tradisional-di-tepi-jalan-kota

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke