Salin Artikel

Pengosongan Pulau Rempang Ditunda, Warga: Apakah Tidak Bisa Setop Masalah Penggusuran Ini?

Sebab, sampai saat ini, pemerintah maupun Badan Pengusahaan (BP) Batam memperpanjang tenggat waktu pendaftaran dan belum membatalkan rencana pemindahan masyarakat dari kampung-kampung tua.

Menteri Investasi Bahlil Lahadalia pada Senin (25/9/2023) menyatakan bahwa rencana pembangunan proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City tetap berjalan, namun pemerintah "memberi waktu lebih" untuk sosialisasi.

Wartawan BBC News Indonesia, Muhammad Irham, datang ke Pulau Rempang untuk melaporkan langsung bagaimana sikap warga terdampak terhadap rencana pemindahan kampung-kampung tua demi PSN.

Lalu lintas di Jalan Trans Barelang nampak lengang. Mobilitas masyarakat berjalan seperti biasa. Namun sejumlah warga berkumpul di beberapa posko di kampung-kampung yang diprioritaskan untuk direlokasi.

Di Kampung Pasir Merah, Sembulang, ratusan warga berkumpul dan membentangkan spanduk bahwa mereka "menolak keras relokasi".

Sedangkan di Kampung Pasir Panjang, warga berkumpul di posko bantuan hukum yang didirikan oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Sejumlah warga mengatakan bahwa dengan berkumpul, mereka ingin menunjukkan eksistensi sebagai masyarakat kampung tua Melayu yang "kompak menolak keras" untuk direlokasi.

Di situ, Samah, 50, bersama ibu-ibu lainnya menyiapkan masakan untuk warga yang berkumpul.

"Dengan berkumpul ini, warga lebih percaya diri," kata Samah ketika ditemui.

Bagaimanapun, rasa cemas terhadap rencana penggusuran masih terpancar dari wajahnya, sebab pemerintah memperpanjang tenggat waktu pendaftaran relokasi. Itu berarti, pemerintah tetap berencana merelokasi warga meski tidak tahu kapan.

"Buat kami, [tenggat waktu diundur] belum aman juga berarti kami. Makanya kami jaga-jaga, waspada lah. Entah kapan mereka mau gusur kami, kami tidak tahu,"tutur Samah

"Pokoknya kami berkeras, kami tidak akan mau digusur."

Keresahan yang sama juga dirasakan oleh Nurita, seorang ibu rumah tangga di Kampung Pasir Panjang.

"Kenapa ditambah hari lagi, ditambah tanggal lagi? Jadi kami, masyarakat di sini macam takut, tidak senang kan. Hari demi hari, resah dan gelisah kami tidak menentu. Mau cari makan susah, berkomunikasi dengan tetangga luar susah, mau wirid susah, semua serba susah," tutur Nurita dengan nada berapi-api.

"Ini dia minta tanggal 7, nanti tanggal berapa lagi? Apakah tidak bisa setop masalah penggusuran ini?"

"Dia mengatakan itu aman, tapi bagi kami itu tidak aman, kenapa, karena kami diusir dari kampung ini," katanya.

Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Kepulauan Riau Komisaris Besar Zahwani Pandra Arsyad mengatakan akan mengedepankan upaya-upaya yang lebih preventif dan humanis.

Sebanyak 200 personel Brimob dari Polda Riau telah dipulangkan, setelah sempat dikerahkan untuk operasi di Pulau Rempang.

Dikutip dari kantor berita Antara, Pandra mengatakan, aparat masih akan hadir di Pulau Rempang, tetapi bukan untuk mengintimidasi atau penekanan-penekanan tertentu.

Di sisi lain, posko gabungan yang dibentuk oleh BP Batam dan aparat sebagai tempat pendaftaran relokasi, nampak tutup pada Kamis (28/9/2023). Penutupan posko kemungkinan karena tanggal merah.

Akan tetapi, dalam pantauan BBC News Indonesia pada Rabu (27/9/2023), posko ini didatangi oleh belasan warga yang mendaftar.

Sebagian menolak diwawancarai karena khawatir mendapat "tekanan" dan "dihujat" di media sosial.

Salah satu warga Sembulang Tanjung, Angga Mitran Beratama, 25, mengaku bersedia direlokasi tanpa tekanan karena sejak awal dia telah berencana untuk pindah dari kampung itu.

"Sudah enggak ada alasan sebenarnya, saya pindah karena proyek ini sudah jelas. Kedua, pekerjaan saya, jauh. Kalau di sini lebih dekat," kata Angga.

"Kalau dibilang sedih ya sedih, orang tua saya meninggal di sana, nenek saya semua di sana."

Angga mengaku keputusannya untuk pindah membuat tetangga-tetangganya menganggap dirinya "tega" hingga dicap "pengkhianat".

"Mereka bilang, 'Kenapa sih saya tega?'. Tapi dengan saya pindah pun tidak berpengaruh dengan perjuangan mereka. Saya sendiri yang pindah tidak akan mengubah perjuangan mereka," kata Angga.

Penolakan masyarakat untuk direlokasi membuat BP Batam belum bisa mengantongi sertifikat hak pengelolaan lahan (HPL) Pulau Rempang karena status lahan yang belum clear and clean.

Sampai akhirnya, Pulau Rempang ditetapkan sebagai kawasan pengembangan PSN yang ditentang masyarakat.

BBC News Indonesia telah menghubungi Wali Kota Batam sekaligus Kepala BP Batam Muhammad Rudi, serta juru bicaranya, Ariastuty Sirait. Namun, keduanya belum menanggapi.

Senada dengan laporan di atas, temuan Ombudsman juga mengungkap penolakan masyarakat.

Kepada Ombudsman, masyarakat mengaku merasa tertekan oleh desakan-desakan untuk mendaftarkan diri ke program relokasi.

“Kalau enggak ada orang di rumah, form-nya dimasukkan ke bawah pintu. Kalau enggak ada orangtuanya, anaknya dipaksa mewakili orangtuanyalah untuk mengisi form dan tanda tangan,” kata anggota Ombudsman, Johanes Widijantoro.

Masyarakat juga merasa tawaran pemerintah perihal ganti rugi “baru sebatas janji” karena lokasi pemindahan belum siap.

Selain itu, belum ada dasar hukum terkait ketersediaan anggaran untuk kompensasi rumah pengganti, uang tunggu, dan hunian sementara terhadap warga.

Eskalasi situasi sejak 7 September lalu juga menyebabkan masyarakat kesulitan mendapatkan pasokan pangan dari distributor.

“Ada ketakutan dari distributor untuk pasok barang karena status tempat itu yang sudah di-declare akan dikosongkan. Itu berpengaruh pada suplai. Persediaan bahan pangan pokok mereka pun menipis, mereka hanya konsumsi yang tersisa,” tutur Johanes.

“BPN [Badan Pertanahan Nasional] akan mengeluarkan sertifikat kalau di area itu sudah tidak ada penghuni lagi,” tutur Johanes.

Sejauh ini, BP Batam baru mengantongi Surat Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN terkait pemberian HPL pada 31 Maret 2023. Namun SK tersebut hanya berlaku hingga 30 September 2023.

“Kalau dalam jangka waktu ini [sertifikat] tidak terbit, ya memang kemudian gugur kalau dia tidak mengajukan perpanjangan. Artinya sertifikat HPL tidak akan pernah terbit,” kata Johanes.

Menurut Johanes, itulah yang akhirnya membuat BP Batam “tergesa-gesa mendesak warga di kampung-kampung tua untuk keluar dari area itu”.

Ini sekaligus menjawab mengapa sebelumnya masyarakat sempat diberi tenggat waktu untuk mengosongkan pulau pada 28 September, meski belakangan pemerintah menyatakan tanggal itu “bukan batas akhir pendaftaran apalagi relokasi”.

Bukti eksistensi kampung tua Rempang

Temuan Ombudsman lainnya menunjukkan bahwa kampung-kampung tua di Pulau Rempang telah eksis sejak lama, bahkan sebelum ada nota kesepahaman (MoU) antara BP Batam dengan PT Makmur Elok Graha (MEG) untuk mengelola pulau ini dan sekitarnya pada 26 Agustus 2004.

Johanes mengatakan masyarakat di Pulau Rempang memiliki data kependudukan.

“Rata-rata ber-KTP semua, bahkan kami menemukan KTP seseorang yang lanjut usia, sudah sejak 1980-an,” papar Johanes dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (27/9/2023).

Penguasaan fisik masyarakat atas bidang tanah, sambungnya, juga dibuktikan dengan pembayaran pajak bumi dan bangunan.

Ombudsman juga menemukan makam-makam tua, tapak tugu, patok tanda batas antarkampung, hingga ijazah Pendidikan yang terbit pada 1989.

Selain itu, ORI juga menemukan bahwa kampung-kampung tua ini memiliki rekam jejak secara yuridis.

Pada 2004, Wali Kota Batam menerbitkan surat keputusan yang menetapkan kampung-kampung tua, di antaranya Kampung Sembulang, Dapur 6, dan Tanjung Banun.

Johanes mengatakan di dalam SK itu tertuang bahwa kampung tua yang ditetapkan “tidak direkomendasikan untuk masuk ke hak pengelolaan lahan (HPL) BP Batam”.

Masih pada tahun yang sama, terbit Perda Batam Nomor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah yang menurut Johanes, “memberi kepastian hukum terhadap perlindungan Kawasan perkampungan tua”.

Kemudian pada 2005, muncul keputusan bersama antara BP Batam dan Pemerintah Kota Batam untuk membentuk tim inventarisasi kampung tua.

Menurut Johanes, itu menunjukkan bahwa pada era 2000-an, semangat untuk memetakan dan mengidentifikasi kampung-kampung tua telah diketok melalui surat keputusan, pembentukan tim, dan lain-lain.

“Bahkan hasil dari tim kajian itu pada tahun 2007, menyatakan bahwa perkampungan tua yang terdapat di Pulau Rempang dan Pulau lainnya, yang termasuk dalam nota kesepakatan antara PT MEG dan BP Batam, direkomendasikan harus tetap dipertahankan, sehingga tidak termasuk dalam wilayah pengembangan kawasan,” jelas Johanes.

Namun, rekomendasi itu, kata dia, “dibiarkan menggantung” sampai saat ini.

Komitmen untuk merawat kampung-kampung tua di Batam juga tercermin dalam Keputusan Bersama antara Wali Kota Batam dengan BP Batam pada 2011. Langkah itu diperkuat oleh maklumat Gubernur Kepulauan Riau, Pemkot Batam, hingga Lembaga Adat Melayu melalui maklumat pada 2015.

Wali Kota Batam lalu menerbitkan SK terkait penyelesaian legalitas kampung-kampung tua pada 2020.

“Kalau kita baca SK itu secara detail, pada dasarnya ada semangat untuk melindungi, melestarikan, mempertahankan nilai-nilai budaya asli masyarakat Batam. Ini sebuah langkah yang tidak tuntas sampai muncul persoalan kemarin,” jelas Johanes.

Namun Johanes mengatakan, perkampungan tua tiba-tiba sudah tidak diatur lagi dalam Perda Kota Batam Nomor 4 Tahun 2021 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW).

“Dulu semangatnya mau melegalisasi, tapi kemudian di akhir, di Perda 2021, hilang,” tutur Johanes.

“Ini sesuatu yang saya kira “unik”, karena mereka yang terlibat dalam proses itu, orang-orang yang seharusnya tahu bahkan mengeluarkan keputusan-keputusan sebelumnya,” sambungnya.

Temuan Ombudsman memperkuat riwayat penguasaan tanah masyarakat di kampung-kampung tua Rempang. Menurut KPA, masyarakat yang telah menempati wilayah itu selama berpuluh-puluh tahun dinilai semestinya memiliki hak yang sah atas tanah tersebut.

“Bisa diketahui mereka itu warga yang sudah bergenerasi, berkembang, beranak pinak di situ. Mereka bukan warga yang ujug-ujug ada di situ,” katanya.

Ketika kampanye pemilihan presiden pada 6 April 2019, Presiden Joko Widodo pernah berjanji untuk memberi sertifikat terhadap kampung-kampung tua di Batam.

Andai janji itu segera diwujudkan, Dewi mengatakan, kericuhan pada 7 dan 11 September lalu mungkin tak terjadi.

Dia menuturkan yang terjadi saat ini justru pemenuhan hak masyarakat “dikalahkan” oleh kepentingan invesasi.

“Kenapa masyarakat yang dikalahkan? Padahal, mereka yang justru dijanjikan hak sertifikatnya, tetapi tidak kunjung diberikan,” ujar Dewi.

KPA mengatakan, ada tumpang tindih lahan yang berlapis di Rempang akibat buruknya tata kelola agraria.

Di Rempang sendiri terjadi tumpang tindih lahan yang berlapis.

Menurut KPA, terjadi tumpang tindih lahan berlapis di Pulau Rempang. Masyarakat telah menempatinya secara turun temurun. Lalu pada 2001-2002 pemerintah memberikan hak pengelolaan dan pengembangan lahan kepada PT MEG.

Namun, pemerintah daerah serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga memberikan izin-izin kepada pihak lain.

Pemberian hak-hak itu, menurut Dewi “melanggar hak konstitusional” masyarakat Rempang yang telah lebih dulu eksis.

“Asal usul masyarakat menjadi penting, karena di situ lah warga Rempang punya hak dan legitimasi yang kuat untuk mendapat prioritas dalam pemberian hak atas tanah. Bukan BP Batam atau PT MEG,” ujar Dewi.

“Tapi pihak-pihak yang justru datang belakangan di Pulau Rempang justru menjadi pihak yang diprioritaskan untuk menegasikan dan mengusir hak warga Rempang yang seharusnya diutamakan dalam sistem hukum agraria nasional,” sambung dia.

Eco City tak tertuang dalam rencana tata ruang

Satrio Manggala dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyoroti bahwa pembangunan Rempang Eco City tidak dialokasikan dalam perencanaan tata ruang dan wilayah pada tingkat daerah hingga nasional.

Dalam Perda 3/2021 tentang RTRW Kota Batam, pembangunan infrastruktur hanya meliputi jalan artileri, ketenagalistrikan, dan waduk. Sementara kawasan industri meliputi pengembangan industri perikanan di Pulau Rempang dan Pulau Galang serta penataan kawasan wisata Rempang, Galang, dan Galang Baru.

Dalam RTRW Nasional berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 pun, "tidak ada yang secara spesifik menunjukkan alokasi ruang untuk pengembangan Rempang Eco City".

“Yang ada justru Taman Buru Pulau Rempang yang masuk sebagai Kawasan Lindung Nasional,” ujarnya.

https://regional.kompas.com/read/2023/09/29/155500378/pengosongan-pulau-rempang-ditunda-warga-apakah-tidak-bisa-setop-masalah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke