Salin Artikel

Mengenal Wayang Potehi, Seni Peranakan Tionghoa yang Hampir Punah di Semarang

SEMARANG, KOMPAS.com - Waktu mulai petang, sejumlah ruko dan aktivitas warga di Pecinan Semarang, Jawa Tengah (Jateng) sudah mulai sepi. Namun, berbeda dengan Jalan Gang Kampung Pesantren No 326.

Dari kejauhan, muncul suara keramaian yang berasal dari sebuah gang sempit yang hanya bisa dilalui dua sepeda motor. 

Sekitar pukul 05.00 WIB sejumlah anak muda berkumpul memainkan musik, bercerita dengan memperagakan wayang boneka yang terbuat dari kain dan kayu. 

Nampak seorang pria bernama Herdian Chandra Irawan atau yang dikenal dengan nama Thio Hauw Lie turut menemani anak-anak muda itu. 

"Ini adalah Wayang Potehi," kata Thio memperkenalkan wayang tersebut kepada kami, Sabtu (23/9/2023). 

Wayang Potehi merupakan kesenian yang identik dengan peranakan Tionghoa.

“Potehi” berasal dari akar kata “pou” (kain), “te” (kantong), dan “hi” (wayang) yang mempunyai makna wayang yang berbentuk kantong dari kain. 

Wayang Potehi pernah eksis di Kota Semarang sekitar 1950-an. Namun, saat Indonesia dipimpin Presiden Soeharto, pementasan Wayang Potehi dibatasi satu tahun sekali. 

Baru setelah Presiden Indonesia digantikan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Wayang Potehi bisa pentas dengan bebas tanpa pembatasan. 

Namun sayang, saat ini sudah jarang yang mengetahui Wayang Potehi. Saat ini, Thio merupakan satu-satunya dalang Wayang Potehi di Kota Semarang setelah menggantikan ayahnya Thio Tiong Gie. 

Hal itulah yang membuat Thio membuka diri kepada anak-anak muda di sekitar rumahnya, dengan harapan kesenian Wayang Potehi itu bisa bernafas lebih panjang. 

"Kalau tidak ada generasi penerus, bisa benar-benar punah," ucap dia. 

Sampai saat ini, dia sudah mempunyai murid sebanyak 15 orang yang didominasi oleh anak-anak muda. Setiap kali ada pementasan, dia selalu melibatkan anak-anak muda tersebut. 

Belasan anak didiknya itu, tak semuanya menjadi dalang. Mayoritas mereka lebih tertarik menjadi pengiring musik Wayang Potehi karena lebih mudah dibandingkan menjadi dalang. 

"Kalau menjadi dalang juga harus tau sejarah dan ceritanya. Selain itu juga harus latihan karakter suara terus," ucap dia sambil memainkan salah satu tokoh di Wayang Potehi. 

Membuat perbedaan

Dalang Wayang Potehi di Kota Semarang sempat kosong dua tahun setelah ayahnya meninggal pada 2014. Saat itu, regenerasi Dalang Wayang Potehi benar-benar putus. 

Namun, dia merasa tak rela jika kesenian yang digeluti ayahnya itu sirna. Akhirnya, pada 2015 Thio mulai belajar menjadi Dalang Wayang Potehi. 

"Kemudian pada 2016 baru berani pentas," ungkapnya. 

Selama menjadi dalang, Thio juga mencari akar permasalahan penyebab anak-anak tidak tertarik memainkan bahkan menonton pementasan Wayang Potehi. 

"Ternyata yang menajdi penyebab, dulu anak-anak itu sering dimarahi ketika naik panggung Wayang Potehi. Jadinya pada tak tertarik dengan Wayang Potehi. Itu yang saya ubah," ujarnya. 

Selain itu, kebanyakan murid-murid ayahnya tidak berdomisili di Kota Semarang namun Jawa Timur (Jatim). Setelah ayahnya meninggal, murid-murid ayahnya itu membuka pementasan sendiri. 

"Mereka tak mau balik lagi ke sini. Akhirnya mereka buat sendiri di Jawa Timur," ucap Thio. 

Hal itulah yang membuatnya banyak merangkul anak-anak muda di lingkungan sekitar. Dia juga tidak memungut biaya bagi anak-anak muda yang ingin belajar tentang Wayang Potehi. 

"Kesenian ini bisa berumur panjang saja sudah senang," imbuhnya. 

Harapan generasi penerus

Tomy Kiswoyo (20) merupakan salah satu murid Thio yang saat ini sedang belajar menjadi Dalang Wayang Potehi. Menurutnya, Wayang Potehi merupakan kesenian yang cukup penting karena berkaitan dengan sejarah. 

"Ini saya juga masih belajar, belum bisa kalau menjadi dalang," ujar dia di lokasi latihan. 

Saat ini Tomy baru bisa memainkan musik untuk mengiringi musik Wayang Potehi. Menurutnya, memainkan musik lebih mudah dibandingkan dengan menjadi dalang. 

"Kalau musik ini kan hampir sama di musik-musik ketika main kesenian barongsai juga. Jadi lebih familiar," paparnya. 

Sebenarnya, dia sudah tertarik dengan Wayang Potehi sejak kelas enam sekolah dasar atau SD. Namun, saat itu dia tidak tau harus belajar kepada siapa dan di mana. 

"Baru saya ditemukan dengan Pak Thio ini," ucapkan. 

Dia berharap, pemerintah dan pegiat kesenian di Kota Semarang juga turut hadir untuk memperhatikan kesenian Wayang Potehi agar bisa langgeng. 

"Setidaknya sering dilibatkan saat ada event dan dikenalkan di dunia pendidikan," harapnya.  

https://regional.kompas.com/read/2023/09/23/091234978/mengenal-wayang-potehi-seni-peranakan-tionghoa-yang-hampir-punah-di

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke